Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tugas akhir merupakan salah satu kewajiban pelajar yang harus dikerjakan sebagai syarat kelulusan. Namun sayangnya, tak sedikit pelajar melakukan copas atau salin tempel selama proses pengerjaannya agar cepat lulus.
Sebagai guru, selama bertahun-tahun mengajar, dalam satu dua tahun ini, saya kerap menemukan kebiasaan copas atau salin tempel yang pernah dilakukan peserta didik. Salah satunya, murid les privat kelas sembilan di salah satu SMP swasta di Samarinda.
"Bu gurunya nyuruh seperti itu. Langsung ambil aja dari internet," ujarnya sewaktu saya menanyakan alasan dia mengerjakan PR IPA seperti itu.
Begitu juga sewaktu mengerjakan PR Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), pelajar kelas 9 tersebut membuat saya geleng-geleng kepala ketika dia menuliskan jawaban-jawaban soal yang terkesan hanya memindahkan dari buku pelajaran ke buku tulis.
Dan ini bukan hanya terjadi pada satu murid les saja. Kebanyakan dari murid les saya melakukan copas.
Meski copas merupakan hal negatif, namun mengapa kebiasaan tersebut masih sering terjadi di kalangan pelajar?
1. Guru tidak ingin repot membuat soal esai
Profesi guru memikul tanggung jawab yang sangat berat, tetapi kerap kali mendapatkan
penghargaan dalam bentuk materi yang tidaklah sebanding dengan kerja keras yang dikeluarkan. Tak jarang, guru mengajar sekadar menjalankan tugas.
2. Guru menyuruh siswa melakukan copas
Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP Negeri di Samarinda menyuruh murid-muridnya untuk mencari jawaban langsung dari internet.
"Bu guru menyuruh kami seperti itu," jawab murid les saya, sewaktu saya menanyakan tentang PR-nya yang tidak masuk akal itu.
Saya melihat bahwa guru Bahasa Indonesia menyuruh peserta didik kelas sembilan SMP untuk mencari contoh kalimat langsung dan kalimat tidak langsung di internet.
"Ibunya cuman melihat sekilas kalimat-kalimat yang kami ambil dari internet," jawab murid les saya saat saya menanyakan apakah tugas mereka dinilai atau tidak.
Sudah pasti tidak ada pemeriksaan, karena sudah jelas guru tersebut menganggap semua jawaban dari internet tersebut benar adanya.
3. Kemudahan mendapat informasi dari internet menyebabkan peserta didik cenderung menerima informasi sebagai kebenaran yang mutlak
Kelangkaan buku di rumah serta pembiaran penggunaan gawai dalam keluarga menjadi penyebab pendidikan di masa kini, nampak jalan di tempat (ketimbang menyebut mengalami kemunduran).
Kebanyakan murid les saya langsung segera mencari jawaban pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab dari internet bukan buku pelajaran.
Karena mereka ingin cepat menyelesaikan PR, apapun yang tersuguh di internet, mereka langsung menelannya bulat-bulat. Mereka malas mencari jawaban di buku pelajaran karena pembahasan di buku terlalu panjang, serta kebanyakan dari mereka memang tidak suka membaca buku.
Tentu saja jika berbicara tentang memberikan perlakuan khusus kepada anak di rumah, guru tidak bisa mengintervensi masing-masing peserta didik. Pendidik hanya bisa sebatas memberikan masukan kepada orangtua atau wali murid.
Oleh karena itu, berikut 3 langkah berikut perlu pendidik lakukan untuk mencegah terjadinya generasi salin-tempel.
1. Pendidik perlu menegaskan pada peserta didik bahwa segala informasi di dunia maya tidak sepenuhnya benar
Kita tidak bisa menyangkal bahwa internet telah mengubah kehidupan umat manusia.
Internet memperlihatkan betapa vitalnya peranan internet di dalam hidup setiap insan di muka bumi ini.
Sebelum ada internet, informasi diperoleh dari media cetak dan media elektronik.
Sekarang, dengan adanya gawai, semua orang dengan mudahnya dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan, di mana pun dan kapan pun.
Sayangnya, tidak semua Informasi tersebut benar dan tidak semua bisa dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, pendidik perlu menegaskan pada peserta didik bahwa segala informasi di dunia maya tidak sepenuhnya benar.
2. Pendidik menekankan buku sebagai sumber referensi terbaik dalam mempelajari segala macam hal
Tidak bisa dipungkiri, meskipun mendapat gempuran bertubi-tubi, buku tetap berjaya dan masih menjadi jaminan sahnya informasi di dalamnya.
Tentu saja, tidak semua buku menjamin kebenaran. Penerbit dan penulis juga menentukan fakta dan data di dalam buku.
Meskipun banyak sumber informasi sekarang ini, bagi saya pribadi, buku, baik itu buku fisik maupun buku digital, tetaplah sumber referensi terbaik dalam mempelajari segala macam hal.
Bukan sekadar salin tempel belaka, namun pendidik harus mengarahkan peserta didik untuk menelaah buku-buku tersebut dengan baik, menyaring dengan saksama, kemudian menentukan, menyimpulkan dengan mengomposisikan ulang berdasarkan atas berbagai informasi di buku-buku tersebut.
3. Pendidik perlu menanamkan prinsip "pengetahuan mendalam kebermaknaan" kepada peserta didik
Kecenderungan salin-tempel karena mudahnya memperoleh informasi dari internet menyebabkan pola pikir instan dan tidak mau berproses panjang di kebanyakan murid les yang saya bina.
Pengetahuan hanya sebatas di kulit luar di benak mereka.
Kebanyakan guru-guru di sekolah masih menggunakan metode lama dalam mengajar. Satu arah. Metode ceramah. Guru menjelaskan, murid mendengarkan.
Apapun kurikulumnya, sejauh mata memandang, tidak banyak mengubah cara mengajar.
Kalaupun berubah, kemungkinan tidak akan langgeng, karena tahun depan, ganti presiden maka otomatis menteri pendidikan berganti dan pada akhirnya kurikulum pun juga turut berubah.
Ibarat hanya mengganti sampulnya. Isi kurikulum tetap sama atau rombak total, tapi ujung-ujungnya salah dalam menerjemahkan dan keliru dalam penerapan. Akibatnya, kebanyakan peserta didik hanya mempunyai pengetahuan dangkal dan sekadar tahu tapi tak mengerti maknanya secara mendalam, dan juga tidak bisa menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, pendidik perlu menanamkan prinsip pengetahuan mendalam kebermaknaan kepada peserta didik. Bukan sekadar mengajar, namun lebih dari itu, mendidik peserta didik untuk mencintai ilmu pengetahuan secara mendalam dan bermakna dalam pembelajaran, dan pada akhirnya peserta didik dapat menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata.
Generasi unggul tidak bisa diperoleh dalam semalam. Tidak semudah klik klik di ponsel pintar untuk mendapatkan apa yang dimau.
Butuh proses panjang untuk membentuk generasi penerus yang mumpuni, bijaksana, dan tangguh dalam menghadapi setiap masalah yang ada.
Yang jelas, salin tempel bukanlah hal yang baik menimbang arahnya akan mengacu pada plagiator atau meniru pihak lain tanpa ada kebaruan.
Tulisan saya ini mungkin hanya setitik debu dari berbagai kegelisahan para pendidik. Kiranya bisa memberikan masukan bahwa tidak cukup hanya berbekal perangkat elektronik canggih, namun pendidik juga harus menggunakannya dengan bijak, serta mengarahkan peserta didik untuk menggunakan gawai dan internet dengan benar sesuai dengan kebutuhan demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu, salin-tempel bukanlah solusi, tapi ada bahaya yang mengintai.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mencetak Generasi "Salin-Tempel""
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.