Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Setiap ada ajakan kerja bakti biasanya apa responnya, antusias atau menolak dengan tegas?
Jujur saja, tidak semua orang bersedia kerja bakti. Sibuk bekerja, ada urusan lain, tidak suka bersosialisasi. Lebih parah, merasa tidak perlu.
Kodrat sebagai Makhluk Sosial
Jika bisa hidup sendirian, manusia tak perlu gelar "makhluk sosial".
Kita perlu berinteraksi dengan orang lain. Kita butuh bantuan dari orang lain, sebagaimana mereka butuh bantuan kita. Saling membutuhkan.
Masyarakat Indonesia, interaksi sosial diwujudkan salah satunya melalui kerja bakti.
Kerja bersama tanpa dibayar uang. Bayarannya diganti dengan waktu mengobrol, bercanda dengan para tetangga. Rehat sambil melumat mendoan dan kacang rebus ditemani kopi atau teh, menyedot sebatang rokok, dan tertawa.
Bekerja, Berkumpul, Hidup!
Ada ilustrasi sederhana tentang hewan mungil di Negeri Barat. Meski imut, ia berbahaya. Tak seperti hamster, landak memiliki duri hampir di seluruh tubuhnya, khususnya di bagian atas.
Pada musim dingin, mereka berkumpul untuk saling menghangatkan diri. Tetapi, para landak ini saling melukai karena duri-durinya tajam. Maka, mereka pun menjauhkan diri.
Selesai soal? Tidak. Mereka justru mati karena kedinginan. Hidup sendiri untuk bebas dari duri tak membuat mereka bertahan dari suhu dingin ekstrem.
Kejadian serupa terjadi pada manusia, khususnya dalam kerja bakti. Tidak datang kerja bakti membuat kita aman, tidak harus bergesekan dengan tetangga.
Bisa melakukan hal lain yang lebih menguntungkan. Tapi, itu bisa membuat kita terancam, "mati" secara sosial dan emosional.
Harusnya kerja bakti menjadi sarana berkumpul dan bekerja agar hidup. Bak pepatah lama, Mangan ra mangan kumpul.
Kerja Bakti Sarana Guyub Rukun