Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Namun, pada tahun 1996, sebuah kolom dalam surat kabar The Straight Dope menawarkan penjelasan lain: survivorship bias. Cecil Adams, penulis kolom tersebut, mengatakan bahwa penelitian itu hanya didasarkan pada kucing yang dibawa ke rumah sakit. Masalahnya, kucing yang mati akibat terjatuh dari lantai enam ke atas tidak dibawa ke rumah sakit.
Mereka mungkin langsung dikubur atau, lebih buruknya, dibawa ke tempat sampah. Dengan kata lain, kucing yang sudah mati karena terjatuh dari lantai 20 tidak dibawa ke ruang gawat darurat dan karenanya pihak rumah sakit tidak pernah diberitahu. Alhasil, kucing yang mati saat jatuh dari lantai yang lebih tinggi tidak dilaporkan dalam penelitian tersebut.
Hal itu dapat membuat statistik menjadi tidak akurat, seolah jatuh dari jarak yang sangat jauh terlihat lebih aman daripada yang sebenarnya. Faktanya, sebuah penelitian tahun 2024 telah membantah statistik tersebut, membuktikan bahwa kucing yang jatuh dari lantai tujuh atau lebih tinggi mengalami cedera yang lebih parah.
Jadi, tolong, jangan iseng mendorong kucing Anda dari lantai 20.
Mengapa kita, bahkan para ahli dan profesional sekalipun, rentan mengalami bias penyintas? Menurut Taleb, itu karena kita dilatih untuk mengambil keuntungan dari informasi yang ada di depan mata kita dan mengabaikan informasi yang tidak kita lihat. Dengan kata lain, hal itu mudah untuk dilakukan.
Alasan kedua, bias penyintas membuat kita merasa nyaman. Jika Anda berencana mendirikan bisnis restoran, mana yang lebih menarik, kisah orang-orang yang berhasil merintis usahanya pada percobaan pertama atau segudang kisah kegagalan di bulan pertama? Saya tidak naif; saya enggan menyimak cerita orang-orang bangkrut.
Lagi pula, yang pertama membuat Anda optimis, sedangkan yang kedua membuat Anda ingin mengutuk semua bisnis restoran dan akhirnya menyimpan uang Anda demi memastikan itu tetap bersama Anda (selamanya). Saya tidak akan menyalahkan Anda, tetapi kenyataannya sebagian besar bisnis berakhir gagal dan bangkrut, apa pun jenisnya.
Dan bagaimanapun di sinilah kita, menyimak cerita-cerita menarik dan "inspiratif" dari para ahli diet terlaris, CEO selebriti, dan atlet superstar. Kita dengan tekun mendengarkan nasihat dan petunjuk mereka, berharap bisa mengetahui rahasia kesuksesan. Semacam jalan pintas, atau setidaknya memastikan kita berada di jalan yang benar.
"Bangunlah jam 5 pagi. Jangan membuka ponsel lebih dari 2 jam dalam sehari. Berolahragalah setidaknya 30 menit, tiga kali per minggu. Bekerja keraslah. Beranilah mengambil risiko." Dan seterusnya hingga kita diberitahu bahwa orang-orang gagal juga melakukan semua itu, bahkan mungkin lebih dari yang kita kira.
Sayangnya, mereka yang gagal jarang sekali, jika ada, yang diundang ke perguruan tinggi dan konferensi untuk membagikan apa yang menjadikan mereka gagal dan karenanya harus kita hindari. Mereka hilang dari pandangan kita, dan lenyap pula informasi tentang "cara menjadi tidak gagal" bersama mereka.
Sebaliknya, kita lebih memilih pembicara yang bersinar. Mereka berkeliling ke seluruh negeri untuk mengisi seminar tentang cara menjadi sukses. Mereka meyakinkan kita bahwa kita bisa menjadi sesukses mereka, dan caranya ada dalam buku mereka tentang "Cara Mendapatkan Satu Miliar Pertama Sebelum 25 Tahun". Jadi kita didorong untuk membeli bukunya.
Pikirkan para tokoh ikonik teknologi seperti Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg. Anda mungkin terpikir untuk mengikuti jejak mereka: berhenti kuliah dan memulai bisnis dengan teman Anda di garasi rumah orang tua Anda. Mimpi menjadi miliarder tidaklah salah, tetapi mereka yang putus kuliah, secara statistik, lebih sulit menjadi miliarder.
Data BPS terbaru menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar pula upah yang diterima seseorang. Ya, kuliah belum tentu menjadi kaya dan miliarder belum tentu mengenyam kuliah. Bagaimanapun, kalau kita melihat gambaran keseluruhan, jelaslah bahwa kuliah membantu. Suka-tak-suka, datanya memang begitu.
Kebanyakan dari kita gagal menyadari betapa banyaknya orang yang mengikuti jejak Steve Jobs dan gagal, karena pada dasarnya tidak ada yang mendokumentasikan kisah mereka menjadi buku atau film. Paling banter, kisah mereka berakhir secara menyedihkan dalam diari pribadi mereka masing-masing.
Demikianlah, meskipun mudah dan nyaman, bias penyintas membekukan otak kita ke dalam kondisi ketidaktahuan yang membuat kita yakin bahwa kesuksesan itu lebih umum daripada yang sebenarnya. Kita secara keliru memahami realitas dan gagal menangkap banyak privilese (hak istimewa) yang membantu segelintir orang untuk sukses.