Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti di kantor Kemendikdasmen, Jakarta, membawa angin segar sekaligus tanda tanya besar bagi masa depan kesejahteraan guru di Indonesia.
Meski beliau menegaskan bahwa peningkatan kesejahteraan guru sudah masuk tahap pengkajian dan telah dianggarkan untuk tahun 2025, ketidakjelasan nominal yang akan diberikan menimbulkan spekulasi di kalangan pendidik.
Janji peningkatan kesejahteraan guru ini sebenarnya telah lebih dulu dikemukakan oleh Hashim Djojohadikusumo sebagai bagian dari tim kampanye nasional Prabowo-Gibran.
Dalam video yang beredar luas, Hashim bahkan menjanjikan kenaikan gaji guru mulai Oktober 2024, dengan nominal yang cukup signifikan yakni Rp 2 juta per bulan.
Pernyataan yang sengaja direkam ini dimaksudkan sebagai bentuk komitmen yang bisa dipegang oleh para guru.
Adanya perbedaan waktu implementasi antara janji kampanye (Oktober 2024) dan pernyataan Mendikdasmen (tahun 2025) menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi kebijakan pemerintah.
Pada satu kesempatan yang diungkapkan Satriwan, jika janji kenaikan Rp 2 juta per bulan tidak dipenuhi, maka Prabowo telah mengecewakan lebih dari tiga juta guru di Indonesia.
Tentunya hal ini menjadi ujian kredibilitas bagi seorang prajurit yang terkenal memegang teguh sumpahnya.
Pengkajian yang sedang dilakukan pemerintah hendaknya mempertimbangkan beberapa aspek penting. Pertama, transparansi dalam proses pengkajian mutlak diperlukan untuk membangun kepercayaan para guru.
Keterbukaan informasi tentang kriteria dan indikator yang digunakan dalam menentukan besaran peningkatan kesejahteraan akan membantu masyarakat memahami arah kebijakan ini.
Tanpa transparansi, kebijakan ini berpotensi menimbulkan kecurigaan dan resistensi dari berbagai pihak.
Kedua, perbedaan timeline antara janji kampanye dan rencana implementasi perlu mendapat penjelasan yang memadai.
Jika memang ada kendala teknis atau administratif yang menyebabkan penundaan implementasi, hal ini harus dikomunikasikan dengan jelas kepada para guru.
Ketidakjelasan informasi hanya akan menimbulkan kekecewaan dan menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah. Komunikasi yang baik menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah.
Ketiga, besaran nominal yang dijanjikan dalam kampanye (Rp 2 juta per bulan) harus menjadi pertimbangan serius dalam pengkajian yang sedang dilakukan. Angka ini telah menjadi ekspektasi publik, khususnya para guru.
Jika hasil pengkajian menunjukkan angka yang jauh berbeda, perlu ada penjelasan komprehensif yang dapat diterima semua pihak.
Pemerintah harus mampu menyajikan argumentasi yang kuat dan data yang valid untuk mendukung keputusannya.
Argumentasi pemerintah bahwa kesejahteraan guru berbanding lurus dengan mutu pendidikan memang tidak terbantahkan.
Namun, hal ini juga berarti bahwa janji peningkatan kesejahteraan harus diimbangi dengan sistem evaluasi kinerja yang komprehensif.
Peningkatan gaji seharusnya menjadi motivasi bagi para guru untuk terus meningkatkan kompetensi dan kualitas pengajaran.
Sistem evaluasi yang objektif dan terukur akan memastikan bahwa peningkatan kesejahteraan benar-benar berdampak pada perbaikan kualitas pendidikan.
Penting juga untuk memastikan bahwa peningkatan kesejahteraan ini tidak hanya fokus pada nominal gaji, tetapi juga mempertimbangkan aspek kesejahteraan lainnya seperti jaminan kesehatan, tunjangan profesi, dan fasilitas penunjang pembelajaran.
Pendekatan holistik dalam peningkatan kesejahteraan akan lebih efektif dalam mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Program pengembangan profesional dan pelatihan berkala juga perlu dimasukkan dalam paket kesejahteraan guru.
Standarisasi kesejahteraan guru di berbagai daerah juga perlu menjadi perhatian khusus. Peningkatan kesejahteraan harus dapat dinikmati secara merata, tidak hanya oleh guru di kota-kota besar tetapi juga mereka yang mengabdi di daerah terpencil.
Perbedaan biaya hidup dan tantangan di masing-masing daerah harus menjadi pertimbangan dalam formulasi kebijakan.
Perlu ada sistem kompensasi yang adil yang mempertimbangkan tingkat kesulitan dan risiko dalam menjalankan tugas di berbagai wilayah.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah keberlanjutan program peningkatan kesejahteraan ini.
Pemerintah harus memastikan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk tahun 2025 bukan hanya kebijakan jangka pendek, tetapi merupakan bagian dari strategi jangka panjang peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Diperlukan roadmap yang jelas tentang bagaimana program ini akan dikembangkan dan dipertahankan di masa mendatang.
Masyarakat akan terus mengawal proses ini untuk memastikan bahwa janji peningkatan kesejahteraan benar-benar terealisasi sesuai dengan kebutuhan dan harapan para pendidik.
Kredibilitas pemerintah dipertaruhkan dalam implementasi janji ini. Seperti yang dikatakan Satriwan, semoga Prabowo sebagai seorang prajurit yang memegang teguh sumpahnya dapat membuktikan bahwa janji kampanye ini bukan sekadar "ghosting" bagi tiga juta lebih guru di Indonesia.
Keseriusan pemerintah dalam merealisasikan janji ini akan menjadi tolok ukur komitmen mereka terhadap perbaikan kualitas pendidikan nasional.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menanti Realisasi Janji Peningkatan Kesejahteraan Guru"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.