Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Menjadi pengguna rutin transportasi publik bisa membuat seseorang menjadi pejalan kaki yang handal. Pengguna transportasi publik bahkan punya potensi melahap ribuan langkah tiap harinya.
Setidaknya itulah pengalaman saya. Tiap hari saya menjadi penglaju Bogor-Jakarta dengan menggunakan transportasi publik, dan minimal lima ribu langkah sudah tergapai.
Dan lima ribu langkah ini hanya hitungan kasar aya saat berangkat dan pulang kerja. Sedangkan di antara itu, mondar-mandir saat bekerja, bolak-balik ke toilet, ke tempat makan, masjid dan lain-lain belum dihitung.
Perjalanan dimulai tiap pagi saat saya menitipkan sepeda motor di dekat Stasiun Bojonggede. Setelah itu saya harus berjalan kaki dari lokasi penitipan motor sampai dengan peron di mana saya biasa naik KRL Commuter Line, dengan jarak yang lumayan yaitu sekitar 400 meter.
Setelah naik Commuter Line selama kurang lebih 1 jam, saya pun turun di Stasiun Manggarai untuk berganti kereta ke arah Stasiun Sudirman.
Bersama para penumpang lain, saya mesti berjalan menyusuri peron dan menuruni dua lantai ke bawah untuk sampai ke peron Jalur 1 dan Jalur 2.
Kemudian saya harus naik kereta lagi dan turun lagi di Stasiun Sudirman. Dari sini saya lanjut jalan kaki ke arah Stasiun MRT Dukuh Atas yang juga terdiri dari tiga level lantai. Jika ditotal mungkin kurang lebih 500 meter harus saya lalui hingga naik MRT.
Turun dari MRT hingga keluar stasiun dan menuju tempat kerja juga bukan terbilang dekat, sehingga butuh ratusan langkah kaki.
Itu baru berangkat kerja, pulangnya justru lebih jauh lagi karena seperti di Stasiun Bojonggede misalnya, peron berangkat ke arah Jakarta dan ke arah Bogor tentu berbeda. Jadi saya mesti jalan memutar melalui underpass naik turun tangga, dan ini cukup bisa membuat betis kaki saya mengeras.
Bagi orang yang belum terbiasa, naik transportasi publik dengan konsekuensi berjalan kaki lumayan jauh untuk transit atau melangkah dari halte/stasiun pemberhentian ke tempat tujuan, sudah pasti menjadi tantangan tersendiri.
Bahkan tak jarang, orang bukan malas naik transportasinya, melainkan malas harus jalan kaki berpindah moda.
Hal seperti ini diakui oleh salah seorang kawan yang mengaku malas naik LRT dari Stasiun LRT Dukuh Atas, karena meskipun sudah terintegrasi dengan Stasiun MRT Dukuh Atas dan Stasiun KRL Sudirman, jaraknya terbilang melelahkan.
Bayangkan, dari Stasiun MRT Dukuh Atas untuk berganti moda di Stasiun LRT Dukuh Atas jaraknya lebih dari 1,5 kilometer (hitungan dari google maps) dan harus dicapai dengan jalan kaki.
Tidak bisa naik ojek online atau naik kendaraan apapun karena melewati Jembatan Multiguna, yang kurang lebih mirip jembatan penyeberangan orang (JPO).
"Enak sih sebenarnya naik LRT, bisa nyambung dari MRT, tapi jalannya tuh jauh banget," ucap kawan tersebut.
Ya, pada akhirnya kembali ke masing-masing orang. Jika menganggap jalan kaki ribuan langkah memiliki manfaat positif, maka tak ada kata "lelah" yang bakal terucap.
Bagi saya pribadi, perpaduan transportasi publik dengan jalan kaki memberikan banyak keuntungan. Pertama murah dan hemat pengeluaran untuk ongkos pulang pergi kerja.
Kedua, tubuh saya terasa lebih fit dan terjaga karena terbiasa jalan kaki lebih dari 5000 langkah per hari.
Bahkan secara total mungkin saya bisa mencapai 10 ribu langkah per hari, jika hari itu ditambah aktivitas seperti mencari tempat makan siang agak jauh atau pergi ke mal usai pulang kerja.
Maka ketika momen ketemu teman lama atau sanak saudara yang jarang ketemu, seringkali mereka basa-basi mengatakan bahwa badan saya dari dulu gitu-gitu aja, nggak tambah kurus dan tidak pula bertambah gemuk.
"Kan naik kereta tiap hari," itulah jawaban saya, dan mereka langsung paham.
Terus terang, saya memang jarang menyempatkan waktu khusus untuk berolahraga. Tapi, setiap hari mengemas ribuan langkah membuat saya merasa tetap sehat dan bugar.
Jadi sebenarnya, saya dipaksa oleh keadaan. Karena sebenarnya butuhnya transportasi murah meriah dan cepat, eh ternyata dapat bonus tubuh bugar gara-gara mau tidak mau harus jalan kaki ribuan langkah untuk berpindah moda.
Memang, kondisi seperti ini barangkali lebih mungkin terjadi di wilayah seperti Jabodetabek, dan dilakukan oleh pekerja harian pengguna transportasi publik.
Namun, bukan berarti di daerah lain tidak bisa. Anak-anak sekolah dan guru pun bisa melakukannya ketika menggunakan transportasi umum, seperti angkot ke sekolah.
Dulu sewaktu sekolah pun saya melakukannya. Jalan kaki dari rumah ke pinggir jalan besar untuk menunggu angkot cukup membuat kaki bergerak.
Pulang sekolah justru makin jauh lagi jalan kakinya karena angkot tidak boleh mengambil penumpang di depan sekolah. Apalagi kalau hendak mampir dulu ke rumah teman atau ke mana. Dulu kami terbiasa berjalan kaki karena belum ada ojek online yang memanjakan kaki.
Idealnya memang, negara ini harus terus mengembangkan sistem transportasi publik, seiring dengan pembangunan jalur pedestrian yang nyaman bagi pejalan kaki.
Budaya jalan kaki dan kesehatan masyarakat setidaknya bakal ikut meningkat ketika kita makin terbiasa menggunakan transportasi publik.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bonus Ribuan Langkah Kaki dari Menggunakan Transportasi Publik"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.