Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Beberapa waktu lalu saya diajak makan siang bareng dan sharing bareng oleh kawan saya yang merupakan manajer HRD di kantornya.
Usai kami habiskan makan siang kami, masuklah ke sesi sharing tentang pekerjaan, ya kawan saya itu waktu sharing tentang betapa menyebalkannya bekerja bareng generasi z atau Gen Z.
Wah, ini menarik juga nih jadi topik pembahasan, kata saya dalam hati, saya pun penasaran semenyebalkan apa sih kerja bareng gen Z itu menurutnya. Setelah saya investigasi cukup mendalam ternyata begini jawabannya.
Gen Z itu etos kerjanya bermasalah, mereka adalah generasi yang rapuh, mudah baperan, susah diatur, daya juangnya kurang, tapi tuntutannya tinggi, minta gaji tinggi, minta fasilitas macem-macem, sedikit-sedikit menyoal kesehatan mental, tapi kerjanya enggak sesuai visi misi kantor. Pokoknya menyebalkan banget.
Ya, begitulah penjelasan yang sangat berapi-api menggambarkan betul betapa sebalnya kawan saya itu dengan gen z di kantornya.
Kawan saya pun menanyakan kepada saya, bagaimana gen z di tempat saya, apakah sama etos kerjanya dengan gen z di kantornya. Dirinya juga bertanya apakah punya partner gen z dan bagaimana berpartner dengan gen z.
Wah, langsung saja jawab, "enggak sih. Gen z di kantor saya bagus-bagus saja tuh etos kerjanya, kalau ada hal yang perlu dievaluasi juga enggak terlalu banget. Saya pun kalau partner dengan gen z di kantor saya oke-oke saja tuh."
"Masa sih Git, gimana kantormu dan kamu bisa chemistry kerja bareng gen z, coba dong sharing siapa tahu bisa diterapkan di kantorku?" tanya kawan saya lagi.
Sebenarnya kerja bareng gen z itu nyaman dan etos kerjanya baik-baik saja sih asal tahu bagaimana memberdayakannya dan membinanya dengan baik.
Pertama, berikan kepercayaan, apresiasi, dan jangan di micro managing.
Ya, gen z itu butuh kepercayaan, mereka butuh membuktikan kinerja mereka untuk kantor, jangan terlalu di micro managing. Karena ini akan menyebabkan rasa risih mereka karena kerja terlalu dicampuri terlalu detil.
Dimonitoring saja sampai sejauh mana kinerjanya, kalau mulai melenceng baru ditindak lanjuti, enggak usah di micro managing.
Sebaiknya berikan kepercayaan kita kepada gen Z untuk menunjukan bagaimana kinerja mereka sehingga mereka kerja secara lepas dan pada akhirnya jadi loyal dan berdedikasi.
Begitu juga apresiasi, jangan pelit memberikan apresiasi mana kala kinerja gen z memang bagus, berikan apresiasi kinerja mereka agar semakin semangat dalam bekerja.
Kedua, buka ruang diskusi yang membangun.
Untuk meruntuhkan gap, maka membuka ruang diskusi yang membangun bisa jadi solusi. Karena dalam forum diskusi inilah bagaimana ide dan gagasan bisa saling bersumbangsih.
Forum diskusi ini juga jadi sarana kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam lingkungan kerja, dari ruang diskusi ini lah siapa tahu kedepan bisa menghasilkan ide briliyan bagi kemajuan kantor.
Ketiga, feedback yang konstruktif bukan kritik yang destruktif.
Kesalahan mendasar yang terjadi di kantor adalah ketika feedback yang diberikan kepada gen z adalah kritik yang destruktif bahkan menjurus toxic.
Justru feedback yang begini inilah yang akan mendampaki etos kerja gen z, inilah yang akhirnya timbul rasa saling menyebalkan, gen z sebal sama kantor, dan kantor sebal dengan gen z.
Nah, solusinya adalah feedback yang konstruktif, kalau memang ada yang perlu dievaluasi ya diterapkan dengan bijak, jangan semenjana mengkritik habis itu muncul punishment. Tentu saja suasananya akan semakin kisruh.
Jadi iya itu tadi, feedback yang konstruktif yang diterapkan, sehingga gen z justru semakin aware dengan dirinya sendiri dalam bekerja.
Keempat, fleksibilitas lingkungan kerja.
Nah, kekakuan fleksibilitas lingkungan kerja inilah yang juga perlu jadi perhatian. Lingkungan kerja jangan kaku-kaku amat, izin susah misalnya, cuti susah misalnya, teralu birokratif misalnya, micro managing misalnya.
Lebih baik fleksibel saja, menerapkan kolaboratif yang membangun. Sehingga etos kerja gen z jadi terpacu untuk lebih bekerja dengan optimal.
Kelima, jangan abaikan kesehatan mental.
Kesehatan mental dalam lingkungan dan budaya kerja itu memang penting dan memang tidak bisa diabaikan. Sebab ini berdampak pada kejiwaan.
Dimana bila suatu kantor itu lingkungannya dan budaya kerjanya berdampak buruk pada kesehatan mental gen z maka siap-siap ditinggal gen z.
Kesehatan mental tidak bisa dianggap sepele, kita saja kalau tertekan kesehatan mentalnya sangat terasa sekali rasanya pada mental dan kejiwaan, begitu juga kepada gen z. Oleh karenanya, kesehatan mental ini haruslah jadi bagian penting dalam membina gen z.
Nah, itu sih yang berlaku di kantor saya dan menurut saya yang bisa saya sharing.
"Baiklah Git, saya coba pertimbangkan untuk saya terapkan di kantor." Kata kawan saya.
Jadi, gimana menurut anda yang berpartner dengan gen z, benarkah berpartner dengan mereka para gen z semenyebalkan itukah?
Kalau menurut saya, tentu tidak dong, kalau pembinaanya dan perawatannya berjalan dengan baik, maka berpartner kerja bareng gen z itu enggak menyebalkan justru mengasyikan dan malah saling tambah wawasan.
Demikian sharing yang bisa dibagikan, semoga bermanfaat.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kerja Bareng Gen Z, Semenyebalkan Itukah?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.