Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Malam itu, KM Nggapulu bersandar di Pelabuhan Anging Mammiri, Makassar, tepat pukul 00.00.
Hujan deras menyambut kedatangan kapal, namun aktivitas pelabuhan tidak lantas terhenti.
Sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia bagian timur, denyut nadi ekonomi dan logistik terus berdetak, bahkan di tengah malam.
Di antara hiruk-pikuk bongkar muat barang dan penumpang, perhatian saya tertuju pada para pedagang asongan yang bergerak gesit di area pelabuhan dan kapal.
Para pedagang ini menjadi wajah lain dari pelabuhan: mereka yang bekerja keras demi menyambung hidup, meski sering kali dihadapkan pada kebijakan yang mempersulit.
Pedagang Asongan Mendaki Tali Demi Bertahan Hidup
Saat saya berbincang dengan salah satu pedagang (22 tahun), terungkap cerita yang mengejutkan.
Lebih jauh, para pedagang ini juga diwajibkan mengenakan pakaian khusus jika ingin berdagang di dalam kapal.
Ketentuan tersebut berbeda dengan kondisi di Pelabuhan Tanjung Priok, yang mana para pedagang asongan diberi kebebasan untuk berjualan tanpa syarat pakaian khusus.
Cerita ini menyentuh hati saya. Bayangkan, risiko yang harus mereka hadapi: memanjat tali kapal di tengah malam, dengan kemungkinan tergelincir dan jatuh.
Semua ini dilakukan demi mendapatkan penghasilan kecil dari para penumpang kapal.
Kesenjangan Kebijakan: Pelni dan Pengelola Pelabuhan Perlu Berbenah
Perbedaan aturan antara pelabuhan seperti Tanjung Priok dan Anging Mammiri menunjukkan adanya ketidakseragaman kebijakan yang memengaruhi nasib pedagang asongan.
Padahal, mereka adalah bagian penting dari ekosistem pelabuhan, memberikan layanan kepada penumpang dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan pedagang resmi di dalam kapal.
PT Pelni dan pengelola pelabuhan perlu meninjau ulang aturan-aturan ini. Ada beberapa poin yang bisa menjadi fokus:
Pertama, kesejahteraan pedagang asongan. Kebijakan yang terlalu ketat justru meminggirkan mereka yang bergantung pada sektor informal ini.
Memberikan izin masuk dengan pengawasan yang wajar, misalnya, dapat menjadi solusi.
Kedua, standar aturan yang seragam. Ketidakkonsistenan aturan antar pelabuhan menciptakan ketidakadilan.
Dengan menetapkan standar yang seragam di seluruh pelabuhan, pedagang asongan dapat merencanakan usaha mereka dengan lebih baik.
Ketiga, kolaborasi dengan pedagang lokal. Alih-alih melarang, mengajak mereka bekerja sama melalui mekanisme izin resmi yang sederhana dan terjangkau akan lebih manusiawi.
Pedagang Asongan: Simbol Ketangguhan yang Perlu Didukung
Para pedagang asongan di pelabuhan bukan sekadar penjual, mereka adalah simbol ketangguhan masyarakat kecil yang terus berjuang di tengah segala keterbatasan.
Di balik senyum mereka saat menawarkan dagangan, ada cerita perjuangan untuk keluarga di rumah.
Sebagai bangsa yang mengedepankan nilai gotong-royong, sudah selayaknya kita, termasuk pengelola pelabuhan dan pihak terkait, mendukung mereka.
Kehadiran mereka tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menambah warna dalam pengalaman pelayaran.
Refleksi: Menata Kebijakan dengan Hati Nurani
Ketika kita membahas kebijakan, sering kali, angka-angka menjadi prioritas utama.
Namun, kisah para pedagang asongan di pelabuhan seperti Anging Mammiri mengingatkan kita bahwa, ada wajah-wajah manusia di balik data tersebut.
Kebijakan yang baik bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kemanusiaan.
Memberikan ruang bagi pedagang asongan untuk berdagang dengan layak adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar bagi kesejahteraan mereka.
Penutup: Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Adil
Malam itu, saat KM Nggapulu berlayar kembali pada pukul 06.00 WIT, saya membawa pulang banyak refleksi dari pengalaman singkat di Pelabuhan Anging Mammiri.
Di balik gemerlap aktivitas pelabuhan, ada realitas kehidupan para pedagang asongan yang sering terpinggirkan.
Harapan saya sederhana, semoga ke depan, kebijakan di pelabuhan-pelabuhan Indonesia semakin berpihak pada mereka yang bekerja keras demi hidup yang layak.
Karena pada akhirnya, kesejahteraan bangsa tidak hanya diukur dari angka ekonomi, tetapi juga dari bagaimana kita memperlakukan sesama dengan adil dan penuh empati.
Catatan penulis: Tulisan ini adalah refleksi pribadi selama perjalanan di KM Nggapulu.
Apakah kalian memiliki pengalaman serupa dengan para pedagang asongan di pelabuhan? Bagikan cerita kalian di kolom komentar!
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Nasib Pedagang Asongan di Pelabuhan Anging Mammiri Makasar"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.