Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Billy Steven Kaitjily
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Billy Steven Kaitjily adalah seorang yang berprofesi sebagai Dosen. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Cerita dari Pelabuhan Anging Mammiri tentang Pedagang Asongan

Kompas.com, 30 Desember 2024, 13:39 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Malam itu, KM Nggapulu bersandar di Pelabuhan Anging Mammiri, Makassar, tepat pukul 00.00.

Hujan deras menyambut kedatangan kapal, namun aktivitas pelabuhan tidak lantas terhenti.

Sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia bagian timur, denyut nadi ekonomi dan logistik terus berdetak, bahkan di tengah malam.  

Di antara hiruk-pikuk bongkar muat barang dan penumpang, perhatian saya tertuju pada para pedagang asongan yang bergerak gesit di area pelabuhan dan kapal.

Para pedagang ini menjadi wajah lain dari pelabuhan: mereka yang bekerja keras demi menyambung hidup, meski sering kali dihadapkan pada kebijakan yang mempersulit.  

Pedagang Asongan Mendaki Tali Demi Bertahan Hidup

Saat saya berbincang dengan salah satu pedagang (22 tahun), terungkap cerita yang mengejutkan.

Lebih jauh, para pedagang ini juga diwajibkan mengenakan pakaian khusus jika ingin berdagang di dalam kapal.

Ketentuan tersebut berbeda dengan kondisi di Pelabuhan Tanjung Priok, yang mana para pedagang asongan diberi kebebasan untuk berjualan tanpa syarat pakaian khusus.

Cerita ini menyentuh hati saya. Bayangkan, risiko yang harus mereka hadapi: memanjat tali kapal di tengah malam, dengan kemungkinan tergelincir dan jatuh.

Semua ini dilakukan demi mendapatkan penghasilan kecil dari para penumpang kapal.

Kesenjangan Kebijakan: Pelni dan Pengelola Pelabuhan Perlu Berbenah

Perbedaan aturan antara pelabuhan seperti Tanjung Priok dan Anging Mammiri menunjukkan adanya ketidakseragaman kebijakan yang memengaruhi nasib pedagang asongan.

Padahal, mereka adalah bagian penting dari ekosistem pelabuhan, memberikan layanan kepada penumpang dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan pedagang resmi di dalam kapal.  

PT Pelni dan pengelola pelabuhan perlu meninjau ulang aturan-aturan ini. Ada beberapa poin yang bisa menjadi fokus:  

Pertama, kesejahteraan pedagang asongan. Kebijakan yang terlalu ketat justru meminggirkan mereka yang bergantung pada sektor informal ini.

Memberikan izin masuk dengan pengawasan yang wajar, misalnya, dapat menjadi solusi.

Kedua, standar aturan yang seragam. Ketidakkonsistenan aturan antar pelabuhan menciptakan ketidakadilan.

Dengan menetapkan standar yang seragam di seluruh pelabuhan, pedagang asongan dapat merencanakan usaha mereka dengan lebih baik.  

Ketiga, kolaborasi dengan pedagang lokal. Alih-alih melarang, mengajak mereka bekerja sama melalui mekanisme izin resmi yang sederhana dan terjangkau akan lebih manusiawi.  

Pedagang Asongan: Simbol Ketangguhan yang Perlu Didukung

Para pedagang asongan di pelabuhan bukan sekadar penjual, mereka adalah simbol ketangguhan masyarakat kecil yang terus berjuang di tengah segala keterbatasan.

Di balik senyum mereka saat menawarkan dagangan, ada cerita perjuangan untuk keluarga di rumah.  

Sebagai bangsa yang mengedepankan nilai gotong-royong, sudah selayaknya kita, termasuk pengelola pelabuhan dan pihak terkait, mendukung mereka.

Kehadiran mereka tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menambah warna dalam pengalaman pelayaran.

Refleksi: Menata Kebijakan dengan Hati Nurani

Ketika kita membahas kebijakan, sering kali, angka-angka menjadi prioritas utama.

Namun, kisah para pedagang asongan di pelabuhan seperti Anging Mammiri mengingatkan kita bahwa, ada wajah-wajah manusia di balik data tersebut.  

Kebijakan yang baik bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kemanusiaan.

Memberikan ruang bagi pedagang asongan untuk berdagang dengan layak adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar bagi kesejahteraan mereka.

Penutup: Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Adil

Malam itu, saat KM Nggapulu berlayar kembali pada pukul 06.00 WIT, saya membawa pulang banyak refleksi dari pengalaman singkat di Pelabuhan Anging Mammiri.

Di balik gemerlap aktivitas pelabuhan, ada realitas kehidupan para pedagang asongan yang sering terpinggirkan.  

Harapan saya sederhana, semoga ke depan, kebijakan di pelabuhan-pelabuhan Indonesia semakin berpihak pada mereka yang bekerja keras demi hidup yang layak.

Karena pada akhirnya, kesejahteraan bangsa tidak hanya diukur dari angka ekonomi, tetapi juga dari bagaimana kita memperlakukan sesama dengan adil dan penuh empati.

Catatan penulis: Tulisan ini adalah refleksi pribadi selama perjalanan di KM Nggapulu.

Apakah kalian memiliki pengalaman serupa dengan para pedagang asongan di pelabuhan? Bagikan cerita kalian di kolom komentar!

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Nasib Pedagang Asongan di Pelabuhan Anging Mammiri Makasar"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Kata Netizen
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Kata Netizen
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Kata Netizen
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Kata Netizen
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Kata Netizen
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Kata Netizen
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Kata Netizen
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Kata Netizen
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Kata Netizen
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Kata Netizen
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Kata Netizen
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Kata Netizen
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Kata Netizen
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Kata Netizen
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau