Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Hari itu, Minggu, 26 Desember selalu dikenang oleh masyarakat Aceh. Tepat 20 tahun yang lalu, Aceh berduka.
Gelombang tsunami menghancurkan sebagian besar kota banda Aceh dan beberapa kawasan pesisir laut Aceh.
Pada minggu pagi, cuaca yang cerah disambut oleh gempa kuat. Saat itu saya sedang berada di rumah hendak berpiknik ke laut. Toko-toko bangunan bergoyang seperti sebilah besi yang lentur.
Beberapa saat kemudian dinding pagar sebuah rumah rubuh. Semua masih terlihat baik-baik saja. Terdengar suara dentuman keras dari arah laut. Kejadian tsunami terjadi begitu cepat.
"Lariiiii, air laut naikkk"
Suara teriakan dari arah jalan mulai bergema. Kendaraan memadati jalanan. Sepeda motor dan mobil saling mendahului. Semua masih belum bisa membayangkan makna teriakan air laut naik.
Seorang teman tiba-tiba muncul sambil berlari. "Cepat, air laut naik," sambil menarik nafas kuat-kuat dan menghembuskannya. Saya lantas bertanya heran, "ada apa"?
Setelah menjelaskan apa yang dilihatnya, saya dan keluarga bergegas menaiki mobil. Tujuan kami hanya satu, menuju tempat yang lebih tinggi secepat mungkin.
Gempa yang kuat membuat air laut tertarik ke dalam beberapa saat. Laut kering seketika dan ikan-ikan berlompatan. Sebuah pertanda bencana segera tiba.
Menurut beberapa saksi, gelombang tsunami berdiri tegak puluhan meter berwarna gelap. Siap menghantam siapa saja, tidak perduli sedang lari atau tertidur.
Kami terjebak di tengah laju kendaraan. Suara klakson terdengar saling bergantian. Semua panik dan ingin mencari jalan keluar. Beruntung ada yang mau mengalah dan tumpukan kendaraan kembali bergerak.
Melewati simpang tugu Lambaro, perbatasan kota Banda Aceh dan Aceh Besar, kami menemui lebih banyak kendaraan.
Sebagian terlihat cemas seakan sesuatu mengerikan baru saja terjadi. Saya belum bisa membayangkan makna kata tsunami ketika itu.
30 menit kemudian saya dan keluarga tiba di rumah nenek. Semua masih bertanya-tanya sambil menerka bencana apa yang sedang melanda Aceh. Sore hari kami memutuskan untuk kembali ke kota.
Di tugu Lambaro, mayat-mayat tersusun berjejer. Sebagian tertutupi kain. Sesampainya kami di rumah, aliran listrik padam total. Saya dan beberapa anggota keluarga menaiki motor menuju area laut.
Satu anggota keluarga terjebak di sebuah desa 100 meter dari pesisir laut. 80% bangunan lenyap dan air laut menutupi rumah-rumah penduduk.
Mayat-mayat bergelimpangan. Sebagian tersangkut di pagar, sebagian terjebak reruntuhan tembok, dan banyak yang tersangkut di kayu-kayu reruntuhan.
Saya melihatnya langsung ketika melewati kawasan Taman Sari menuju lapangan Blang Padang. Seorang pria kakinya terbelah Terkena benda tajam berjalan pelan. Semua berduka, semua kehilangan anggota keluarga.
Suasana begitu mencekam. Hampir semua orang saling silih berganti mencari anggota keluarga yang hilang. Mengecek setiap manyat yang ditemui. Ribuan manyat tergeletak dimana-mana berhari-hari tanpa identitas.
Pesisir barat selatan sulit dijangkau. Jalan terputus, jembatan lenyap, menyebakan pasokan makanan terputus total. Bantuan luar negeri akhirnya datang. Helikopter mulai berdatangan memasok makanan.
Korban-korban selamat didata, anggota keluarga yang hilang bertambah. Semua berduka kehilangan anggota keluarga. Istri kehilangan suami. Anak kehilangan orangtua. Orangtua kehilangan anak dalam genggaman.
Kisah tsunami masih berbekas tajam dalam memori. Banyak anggota keluarga yang belum ditemukan. Sebagian ada yang sudah mengikhlaskan. Tidak ada yang tahu pasti apakah mereka sudah meninggal, atau mungkin terpisah dari keluarga dan berada di tempat lain.
Wajah kota Banda Aceh kini telah berubah. Bangunan baru, jalanan luas, dan kehidupan yang berbeda. Namun, tsunami 2004 selalu dikenang oleh para korban dan mereka yang terlibat.
Musium tsunami di kota banda Aceh menjadi bangunan tempat mengenang kejadian tsunami 2004 silam. Foto-foto bangunan rubuh dan vidio singkat tentang tsunami terpajang di dalamnya.
Sebuah kapal besar bernama Kapal Apung hanya berjarak 2 kilometer dari gedung megah ini. Kapal Apung terbawa gelombang tsunami ke rumah warga. Menyapu setiap rumah yang dilewati. Kini berdiri tegak sebagai saksi keganasan tsunami 26 Desember 2004.
Tulang belulang korban tsunami masih terus ditemukan di berbagai tempat. Sebagian tertimbun di kawasan pemukiman warga. Tahun berganti tahun, nama-nama korban kadangkala terdeteksi dari identitas KTP yang kadang ditemui bersama kerangka saat penggalian fondasi rumah.
20 tahun sudah kisah tsunami terlewati. Esok hari, 26 Desember 2024, Aceh kembali memperingati kejadian tsunami. Mengirim do'a bagi mereka yang sudah mendahului kita semua.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.