Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dari sekian banyaknya buku Pramoedya Ananta Tour, saya sudah baca 3 novelnya: umi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah.
Bumi Manusia saya pinjam punya ayah dan dua lainnya saya baca di rumah teman, alias pinjam. Gak modal banget, ya, semuanya pinjam.
Novel Bumi Manusia sebetulnya sudah saya lihat saat SMA. Waktu itu kita sedang euforia atas jatuhnya pemerintahan orde baru.
Mungkin karena itu ayah saya berani mengeluarkan Bumi Manusia dan menaruhnya ke rak buku. Beberapa tahun kemudian saat saya kuliah barulah saya baca novel itu.
Saat googling kita akan menemukan alasan kejaksaan agung melarang Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karena dianggap menyusupkan ajaran komunisme dari Marxisme-Leninisme.
Mungkin pemerintah orde baru takut kalau empat novel Pramoedya yang jadi satu bagian dalam Tetralogi Pulau Buru akan jadi bahan bakar kalangan terdidik untuk melawan pengungkungan ide dan kebebasan berpendapat seperti yang dilakukan Minke.
Minke melawan segala tekanan penjajah dengan menulis dan membuat media cetak. Bahkan sampai saat Minke dibuang ke luar Jawa, dia tetap melawan pemerintah kolonial lewat tulisan.
Berkaitan dengan ayah, belakangan saya baru tahu tahun 2001 saat saya baca Bumi Manusia, buku itu belum resmi dicabut pelarangannya oleh pemerintah. Makanya toko buku Gramedia dan Gunung Agung belum berani menjualnya.
Mungkin ayah saya enggan menjawab karena beliau masih jadi pemimpin redaksi di koran nasional yang terafiliasi dengan pejabat orba. Jadi ayah saya sudah berani mengeluarkan buku Pram, tapi belum berani membicarakannya.
Adil Sejak Dalam Pikiran
Satu yang paling saya ingat dari semua buah pikiran Pram adalah, "Harus berlaku adil sejak dalam pikiran."
Kalimat itu ada di Bumi Manusia yang diucapkan oleh Jean Marais kepada Minke. Saat itu Minke dihadapkan pada realita kehidupan Nyai Ontosoroh yang berbeda 180 derajat dengan anggapan umum yang negatif melekat pada diri nyai-nyai.
Istilah 'nyai' pada waktu itu disematkan pada perempuan simpanan yang melayani bangsawan, orang Belanda, Arab, bahkan Tionghoa.
Namun, Jean Marais mengingatkan Minke bahwa orang terpelajar haruslah menguji pendapat umum sebelum menerimanya.
Kalau pendapat umum itu mengandung kebenaran maka kita wajib menghormati dan mengindahkannya. Kalau pendapat umum itu salah maka katakanlah salah.