Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Padahal risikonya kamu jadi tidak punya perlindungan hukum jika ada masalah seperti pelecehan, kekerasan, atau eksploitasi.
Kamu tidak bisa melapor karena status ilegalmu. Dan banyak kasus di mana pekerja ilegal tidak dibayar atau mendapat gaji jauh lebih rendah dari yang dijanjikan.
Belum lagi beban mental karena takut ketahuan tidak memiliki ijin tinggal resmi sehingga tidak bebas bergerak dan bila sakit sulit mengakses layanan kesehatan. Jika akhirnya tertangkap, kamu langsung di deportasi secara paksa dan dilarang masuk kembali ke negara tersebut atau di Blacklist.
2. Pahami Realitas, Jangan Terjebak Ekspektasi.
Banyak orang berpikir bahwa hidup di negara maju seperti yang tampak di film-film. Semua serba bersih, rapi, tertata, dan penuh petualangan. Kenyataannya, bekerja di luar negeri kalau tidak memiliki mental baja yang kuat bisa jauh lebih berat daripada yang dibayangkan.
Beradaptasi dengan budaya kerja yang berbeda seperti etos kerja dan disiplin tinggi, jam kerja panjang, tekanan kerja tinggi, harus bisa menerima kritik dan aturan ketat yang bisa membuat culture shock. Kamu dituntut harus bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru yang memiliki mindset yang berbeda, kalau kamu tidak mau merasa terasing.
Belum lagi perbedaan budaya, bahasa, makanan dan kadang harus menerima perlakuan rasisme. Banyak yang mengalami homesick, kesepian atau stres jika tidak siap dengan realitas ini.
3. Pilih Jalur yang Sesuai dengan Skill dan Kualifikasi
Pastikan kamu memilih jalur yang sesuai dengan kemampuan dan latar belakang pendidikanmu. Mayoritas pekerja migran Indonesia adalah pekerja kasar (Blue Collar) yang bekerja di luar kantor seperti sektor konstruksi, pertanian, manufaktur, perikanan, perawat lansia, ART dan sebagainya.
Tapi banyak juga yang menjadi tenaga profesional, pegawai kantoran, dosen dan peneliti (White Collar) jika memiliki spesifikasi pendidikan dan skill sesuai persyaratan. Biasanya para pelajar Indonesia setelah lulus kuliah di luar negeri mereka mencoba peruntungan dengan mencari kerja dengan menggunakan visa pencari kerja.
Jepang sering menjadi negara tujuan karena banyak menyediakan peluang kerja bagi para lulusan SMA, meskipun Jepang tidak menerima tenaga kerja tanpa skill seperti menjadi Asisten Rumah Tangga (ART). Berbeda dengan negara-negara Asia lainnya seperti Hongkong, Taiwan, Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan sebagainya.
Contohnya program Magang atau pelatihan Kerja (Gino Jisshuu) untuk pemula selama 1-5 tahun adalah yang paling banyak diminati oleh para pencari kerja dari Indonesia. Meskipun gajinya lebih kecil dibandingkan pekerja tetap, tetapi bila dibandingkan di Indonesia jauh sangat lumayan. Bisa menjadi pengalaman hidup dan batu loncatan untuk mendapat visa kerja Tokutei Ginou dengan ikut ujian sertifikasi ketrampilan.
Banyak yang berpikir bahwa bekerja sebagai buruh kasar di luar negeri itu sama saja dengan di Indonesia. Padahal, meskipun pekerjaan yang dilakukan sama, gaji, fasilitas, dan peluang masa depan bisa jauh lebih baik apalagi bila bekerja di negara maju. Kalau tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, mendapatkan pengalaman, membuka peluang masa depan dan merubah nasib, kenapa tidak?
4. Kuasai Bahasa Lokal, Jangan Andalkan Bahasa Inggris.
Banyak orang berpikir bahwa bahasa Inggris sudah cukup untuk bekerja di luar negeri. Bukan berarti bahasa Inggris tidak penting, tapi kalau ingin bekerja dan hidup dengan nyaman di negara lain, menguasai bahasa lokal setempat adalah kunci utama untuk sukses.
Kemampuan menguasai bahasa lokal jauh lebih berpengaruh, apalagi jika tinggal di negara yang lebih mengutamakan bahasa ibu dibandingkan bahasa Inggris seperti di Jepang dan Jerman.