Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di antara kota-kota satelit lainnya, Kota Depok memperlihatkan hal yang berbeda sebelum dan setelah Lebaran tiba.
Apalagi Kota Depok bukanlah kota yang memproduksi perantau yang setiap tahun akan menjadi destinasi para pemudik yang bekerja di luar daerah.
Tradisi mudik Lebaran Depok setiap tahun justru menjadi kota asal pemudik yang selalu meninggalkan kota setia mudik Lebaran tiba.
Jadi, artikel ini akan menyoroti fenomena Kota Depok dalam mudik Lebaran bukan sebagai penerima pemudik, tetapi justru penghasil pemudik.
Sudah menjadi fenomena umum bahwa menjelang Lebaran, kota-kota besar di Indonesia mengalami fenomena unik yang disebut mudik. Jutaan orang pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan hari raya bersama keluarga.
Depok, sebagai salah satu kota penyangga Jakarta, mengalami dampak yang cukup signifikan dari tradisi ini.
Depok adalah kota yang lebih banyak dihuni oleh pendatang dibanding penduduk asli. Kota ini menjadi pilihan tempat tinggal bagi pekerja dari berbagai daerah yang mencari nafkah di Jakarta dan sekitarnya.
Saat musim mudik tiba, hampir sebagian besar dari mereka kembali ke kampung halaman masing-masing. Jika biasanya Depok dipenuhi hiruk-pikuk kendaraan dan aktivitas warga, mendadak berubah drastis ketika Lebaran. Jalanan yang biasanya macet mendadak lengang, dan banyak rumah kosong ditinggal penghuninya. Depok tiba-tiba kehilangan penduduknya sehingga suasana kota menjadi jauh lebih tenang.
Fenomena ini menarik karena menunjukkan bagaimana Depok lebih banyak dihuni oleh pendatang dibanding penduduk asli. Kota ini menjadi pilihan tempat tinggal bagi pekerja dari berbagai daerah yang mencari nafkah di Jakarta dan sekitarnya. Hal ini menjadikan Depok sebagai salah satu kota di Jabodetabek yang paling terasa dampaknya ketika Lebaran tiba.
Lantas, mengapa Depok bisa berubah begitu drastis saat Lebaran? Apa saja faktor yang menyebabkan kota ini menjadi sepi? Artikel ini akan membahas beberapa fakta unik tentang warga Depok yang menjadi pemudik setiap tahun. Dari sulitnya mengidentifikasi warga asli Depok, peran kota ini sebagai tempat tinggal para pendatang, hingga perubahan drastis yang terjadi di jalanan dan perumahan saat mudik berlangsung.
1. Sulit Mengidentifikasi Orang Depok Asli
Salah satu fakta menarik tentang Depok adalah sulitnya menemukan warga yang benar-benar asli dari kota ini. Secara historis, Depok memang memiliki penduduk asli, yakni keturunan kaum Belanda dan Betawi yang sudah lama menetap di wilayah ini. Namun, seiring dengan perkembangan kota yang semakin pesat, jumlah mereka semakin sedikit dibandingkan dengan para pendatang yang datang untuk bekerja atau menempuh pendidikan. Hal ini membuat identitas warga Depok menjadi sangat beragam dan sulit untuk didefinisikan.
Ketika ditanya, "Asli orang Depok?" banyak yang akan menjawab dengan menyebut daerah lain sebagai kampung halamannya. Sebagian besar warga Depok adalah orang-orang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan daerah lainnya yang merantau ke Jabodetabek. Mereka mungkin sudah tinggal di Depok selama bertahun-tahun, bahkan memiliki KTP Depok, tetapi tetap menganggap daerah asal mereka sebagai rumah sejati.
Fenomena ini juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan perumahan atau perkantoran, jarang ada orang yang berbicara dengan dialek khas Depok, karena kebanyakan penduduk menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing atau bahasa Indonesia. Bahkan dalam acara-acara komunitas, banyak tradisi dari luar Depok yang lebih sering muncul dibandingkan dengan tradisi lokal.
Akibatnya, saat Lebaran tiba, sebagian besar warga Depok merasa "wajib" untuk pulang kampung. Mereka berbondong-bondong meninggalkan kota untuk merayakan Idulfitri bersama keluarga besar di daerah asal. Inilah salah satu alasan mengapa Depok mendadak sepi saat musim mudik tiba—karena banyak dari penghuninya sebenarnya berasal dari luar kota.
2. Depok sebagai Tempat Tinggal Pendatang
Depok bukan hanya kota yang sulit menemukan penduduk aslinya, tetapi juga telah berkembang menjadi tempat tinggal utama bagi para pendatang. Banyak pekerja dan mahasiswa memilih tinggal di Depok karena letaknya yang strategis, biaya hidup yang lebih murah dibanding Jakarta, serta akses transportasi yang cukup baik menuju pusat kota. Hal ini menjadikan Depok sebagai salah satu kota dengan populasi pendatang yang sangat tinggi.
Para pendatang ini umumnya tinggal di berbagai jenis hunian, mulai dari apartemen, rumah kontrakan, hingga kos-kosan. Kawasan seperti Margonda, Beji, dan Kukusan dikenal sebagai tempat favorit bagi mahasiswa dan pekerja dari luar kota. Mereka menjadikan Depok sebagai tempat tinggal sementara, tetapi hati mereka tetap berada di kampung halaman.
Saat musim mudik tiba, permukiman yang biasanya ramai dengan aktivitas harian mulai lengang. Banyak penghuni kos dan kontrakan yang pulang ke kampung halaman mereka, membuat lingkungan sekitar terasa lebih sepi. Beberapa pemilik warung atau tempat usaha kecil pun memilih menutup toko sementara karena pelanggan mereka pergi mudik.
Keadaan ini membuat Depok mengalami perubahan drastis dalam waktu singkat. Dari kota yang biasanya hidup 24 jam sehari, tiba-tiba menjadi lebih tenang, dengan lebih sedikit kendaraan di jalan dan lebih sedikit orang di pusat-pusat keramaian. Bahkan beberapa pusat perbelanjaan pun mengalami penurunan jumlah pengunjung yang signifikan selama musim Lebaran.
3. Jalur Transportasi Alternatif Para Pemudik
Sebagai kota penyangga Jakarta, Depok memiliki beberapa jalur transportasi yang sering digunakan para pemudik. Salah satunya adalah Terminal Depok, yang menjadi titik keberangkatan bus antar-kota menuju berbagai daerah. Laporan mudik 2025 menyebutkan bahwa Terminal bus antarkota antarprovinsi di Jatijajar, sudah mulai dipenuhi para pemudik yang hendak menggunakan bus dengan tujuan Jawa, Sumatera, Bali hingga Nusa Tenggara dan Sulawesi. Pada puncak arus mudik, terminal ini dipenuhi oleh warga yang ingin pulang kampung, membawa koper besar dan oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
Selain menggunakan bus, banyak warga Depok yang memilih menggunakan KRL untuk mencapai stasiun kereta api utama di Jakarta seperti Stasiun Gambir atau Pasar Senen. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan dengan kereta jarak jauh ke kampung halaman masing-masing. Hal ini membuat kepadatan di KRL meningkat drastis menjelang Lebaran, terutama di jam-jam tertentu.
Bagi mereka yang menggunakan kendaraan pribadi, jalur alternatif seperti tol Depok-Antasari dan jalan-jalan arteri menuju Bogor atau Bekasi menjadi pilihan utama. Namun, kepadatan lalu lintas sering kali membuat perjalanan terasa lebih lama dari biasanya.
Mudik dengan motor juga menjadi tren di kalangan pekerja yang ingin menghemat biaya perjalanan. Tak jarang, mereka membawa barang dalam jumlah besar di atas motor, bahkan ada yang membawa serta anak-anak mereka dalam perjalanan panjang yang melelahkan.
4. Sering Macet Ketika Musim Mudik Lebaran
Sepekan sebelum Lebaran, Depok mengalami lonjakan kemacetan yang luar biasa. Menurut Laporan Mudik 2025, Jalan utama seperti Margonda, Cinere, dan Sawangan mulai padat dengan kendaraan yang hendak keluar kota. Kemacetan ini tidak hanya disebabkan oleh pemudik yang bersiap pulang kampung, tetapi juga oleh meningkatnya aktivitas warga yang berbelanja kebutuhan Lebaran.
Banyak warga Depok yang memilih pergi ke pasar tradisional atau pusat perbelanjaan untuk membeli oleh-oleh dan kebutuhan Lebaran. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah kendaraan yang melintas di jalanan utama. Ditambah lagi, aktivitas pengiriman barang dari toko-toko online juga meningkat, menyebabkan lalu lintas semakin padat.
Bagi mereka yang menggunakan kendaraan pribadi, perjalanan keluar dari Depok bisa menjadi tantangan tersendiri. Jalan-jalan menuju tol atau terminal sering kali mengalami kemacetan panjang, membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari biasanya.
5. Permukiman Sepi Sampai H+3 Lebaran
Saat puncak arus mudik telah berlalu, Depok berubah menjadi kota yang sunyi. Kompleks perumahan, apartemen, dan kos-kosan tampak kosong, dengan hanya beberapa rumah yang tetap dihuni.
Warung-warung kecil banyak yang tutup, sementara pusat perbelanjaan mengalami penurunan jumlah pengunjung yang drastis. Bahkan di jalan raya, kendaraan yang biasanya memenuhi Margonda jauh berkurang.
Namun, setelah H+3 Lebaran, kota mulai kembali hidup. Para pemudik kembali dari kampung halaman mereka, jalanan kembali ramai, dan aktivitas ekonomi pun kembali normal.
Depok mengalami perubahan drastis setiap musim mudik Lebaran, dari kota yang ramai menjadi mendadak sepi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian besar penghuninya adalah pendatang yang kembali ke kampung halaman mereka saat Lebaran tiba.
Meski demikian, setelah musim mudik usai, Depok kembali ke ritme normalnya sebagai salah satu kota tersibuk di Jabodetabek. Fenomena ini terus berulang setiap tahun, menjadi bagian dari tradisi tahunan yang unik.
Depok, 23 Maret 2025
Ramadan #23 ! 1446
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bukan Tujuan Mudik, Depok Justru Menjadi Kota yang Menghasilkan Pemudik"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.