Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Jika diingat, 3 dekade lalu penjurusan SMA dibagi menjadi 4, yakni Fisika, Biologi, IPS, dan Bahasa. Lalu, beberapa tahun lalu sempat diadakan, kini ada wacana untuk menghadirkannya lagi.
Sebenarnya ini bukan sekadar penjurusan IPA dan IPS, tetapi tentang ingin menjadi apa ke depannya.
Penjurusan SMA Bukan Soal IPA atau IPS, tapi tentang Siapa Mereka Ingin Menjadi
Ketika pemerintah memutuskan untuk kembali menerapkan penjurusan di SMA, publik pun terbelah. Sebagian menyambut karena merasa anak-anak butuh arah sejak dini. Sebagian lagi khawatir karena pilihan yang terlalu cepat bisa mematahkan potensi yang belum sempat tumbuh.
Jika kembali ada penjurusan siswa SMA di Indonesia dihadapkan pada keputusan besar: memilih jurusan IPA, IPS, atau terkadang Bahasa.
Seolah-olah di usia 15 atau 16 tahun, mereka diminta untuk menentukan arah hidupnya. Sebagian besar merasa tertekan, bingung, bahkan merasa salah langkah. Tapi sebenarnya, penjurusan bukan hanya soal IPA atau IPS. Ia adalah soal identitas: siapa mereka ingin menjadi.
Sebagai mantan pendidik yang telah melihat ratusan siswa tumbuh, bergumul, dan berkembang, saya percaya bahwa pendidikan bukan tentang memaksa siswa mengikuti jalur tertentu, tapi memberi mereka ruang untuk menjadi manusia utuh.
Saya berada di tengah-tengah. Tidak menolak penjurusan, tapi juga tak ingin sistem tergesa menjadikannya satu-satunya jalan. Karena sejatinya, penjurusan bukan tentang "memasukkan anak ke dalam kotak", melainkan menemani mereka memahami keunikan isi kepala dan isi hati mereka sendiri.
Bukan Cuma Angka dan Rumus
Banyak orangtua dan sekolah masih terjebak dalam paradigma lama: IPA lebih bergengsi, lebih menjanjikan masa depan. Begitupun saat saya SMA paradigma satu jurusan lebih bergengsi dari jurusan yang lain juga berlaku.
Seorang siswa yang nilai matematikanya bagus, secara otomatis diarahkan ke jurusan IPA. Tak jarang, keputusan ini tidak mempertimbangkan keinginan siswa itu sendiri. Mereka yang lebih suka berdiskusi, menggali makna sosial, atau menulis cerita, dipaksa mencintai fisika dan kimia yang tak mereka mengerti.
"Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing it is stupid." - Albert Einstein.
Anak-anak kita bukan robot yang diciptakan dengan template seragam. Mereka unik. Mereka datang dengan potensi, bakat, dan panggilan hidup yang berbeda-beda.
Tugas pendidikan adalah mengenali dan merawat potensi itu, bukan menyamakannya demi kenyamanan sistem.
Siapa Mereka Ingin Menjadi?