Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Menikah di tengah ekonomi sulit sering dianggap sebagai "strategi bertahan hidup'.
Namun, benarkah gabungan dua gaji otomatis membawa kebahagiaan? Atau justru menjadi awal petaka finansial?
Kalimat ini mungkin terdengar seperti dialog sinetron, tapi inilah realita yang diumbar di media sosial lewat tren "menikah in this economy".
Banyak pasangan muda berpikir: "Daripada lajang terus, mending nikah biar ada yang bantu bayar sewa kos!". Tapi tunggu dulu.
Data BPS 2023 menunjukkan biaya hidup melonjak 15% dalam setahun, sementara 60% perceraian di Indonesia dipicu konflik keuangan. Jadi, benarkah pernikahan adalah solusi? Atau justru entry point menuju labirin masalah yang lebih rumit?
Seorang teman pernah bercanda, "Kalau mau cepet kaya, nikah aja! Satu gaji buat jajan, satu gaji buat nabung." Tapi ketika ia benar-benar menikah tahun lalu, ucapannya berubah: "Ternyata dua gaji pun bisa karam kalau dipakai beli popok dan bayar cicilan motor."
Pernikahan di era ini bukan sekadar pesta serba putih dan foto-foto estetik di Instagram.
Ini lebih mirip ujian kolaborasi: bisakah dua orang dengan kebiasaan, prioritas, dan mimpi yang berbeda menyusun strategi bersama di tengah badai ekonomi?.
Sebelum mengucap "I do", mari ajukan tiga pertanyaan kritis ini---bukan untuk meragukan cinta, tapi untuk memastikan kita tak sekadar "tandem sepeda dengan rem blong" di jalanan penuh lubang.
Pertanyaan Pertama: "Apakah Kita Siap Kehilangan Kebebasan Finansial?"
Sebagai lajang, gaji Rp10 juta sebulan membuatmu bisa nongkrong di kafe kekinian tiap akhir pekan, langganan Netflix premium, dan masih sisa untuk nabung.
Tapi begitu status berubah menjadi "sudah menikah", anggaran itu tiba-tiba harus mencakup belanja bulanan, listrik, air, iuran sampah, hingga dana save the date untuk sepupu jauh yang tiba-tiba ngajak arisan.
Belum lagi jika ada kejutan bernama "anak" --yang konon bisa menghabiskan Rp3-5 juta per bulan hanya untuk susu dan diaper.
Seorang kenalan, sebut saja Juliet, bercerita bagaimana pernikahannya nyaris kandas hanya karena perseteruan soal online shopping. "Suami marah karena aku beli tas seharga Rp2 juta. Padahal dulu, uangku ya uangku. Sekarang, dia bilang itu uang 'kita'," keluhnya.
Konflik seperti ini bukan sekadar soal angka, tapi soal kesiapan mental untuk bertransisi dari single fighter menjadi tim komando.