Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Studi Mizrachi & Salaz (2019) menegaskan bahwa membaca dari buku cetak lebih efektif untuk pembelajaran akademik karena memudahkan penandaan dan konsentrasi, sementara e-book lebih cocok untuk bacaan ringan.
Hal ini menunjukkan bahwa medium membaca bukan hanya soal aksesibilitas, tapi juga kualitas pengalaman dan efektivitas kognitif.
Literasi Indonesia: Terjebak dalam Pusaran Rendahnya Minat Baca
Di Indonesia, meski pasar buku digital tumbuh, minat terhadap buku cetak tetap bertahan, terutama di kalangan akademisi dan pecinta sastra.
Studi oleh Perpustakaan Nasional (2023) menemukan bahwa 72% mahasiswa lebih mudah berkonsentrasi saat membaca buku fisik.
Namun, ironisnya, tingkat literasi Indonesia masih rendah--berdasarkan survei PISA 2022, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 79 negara dalam kemampuan membaca.
Sedangkan, menurut data UNESCO Institute for Statistics (UIS), Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 208 negara dengan tingkat literasi sekitar 95,44%, masih kalah dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Filipina, Brunei, dan Singapura.
Rendahnya literasi ini disebabkan oleh beberapa faktor utama, diantaranya adalah:
Kurangnya minat membaca, keterbatasan sarana dan prasarana, peran keluarga yang minim dalam mendukung aktivitas membaca, serta pengaruh negatif dari televisi dan ponsel pintar yang lebih menarik perhatian anak-anak dan remaja dibandingkan buku.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa rendahnya literasi Indonesia bersifat multidimensi.
Pertama, akses terhadap buku masih timpang--daerah pedesaan kesulitan memperoleh bahan bacaan berkualitas (Kemdikbud, 2023). Kedua, budaya lisan masih dominan, sementara tradisi baca belum mengakar (Nugroho, 2021).
Teori Social Practice Approach (Street, 1984) menjelaskan bahwa literasi bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan praktik sosial yang dipengaruhi lingkungan.
Sedangkan di Indonesia, minimnya perpustakaan ramah anak dan mahalnya harga buku memperparah kondisi ini.
Pendekatan teoritis dari kajian literasi di Indonesia yang banyak diangkat dalam jurnal-jurnal ilmiah nasional menekankan pentingnya ekosistem literasi yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Misalnya, teori ekologi Bronfenbrenner yang diadaptasi dalam konteks literasi menyoroti bagaimana interaksi antara individu dengan lingkungan mikro (keluarga dan sekolah) sangat menentukan minat dan kemampuan membaca.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya