Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Momen reflektif dari Hari Buku ini guna menakar ulang sejauh mana manusia modern masih menjadikan buku sebagai cermin zaman dan jendela dunia.
Jadi, setiap 23 April, sejak 1995 UNESCO menetapkan sebagai World Book and Copyright Day atau Hari Buku Sedunia.
Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan kepada dua sastrawan besar, William Shakespeare dan Miguel de Cervantes, yang wafat pada hari yang sama (meski berbeda tahun).
Asal-usulnya bermula dari tradisi toko buku di Catalonia, Spanyol pada 1923 yang ingin menghormati karya Cervantes.
Ini kemudian diadopsi secara global sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia untuk mendorong budaya membaca, penerbitan, dan perlindungan hak cipta.
Dalam lanskap digital yang hiruk-pikuk, muncul paradoks: justru saat segala pengetahuan dapat diakses dalam genggaman, sebagian masyarakat dunia justru kembali melabuhkan diri pada keheningan buku fisik.
Kebangkitan Buku Fisik di Era Digital
Di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang, penjualan buku cetak meningkat dalam beberapa tahun terakhir (Statista, 2023).
Survei Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa 65% pembaca muda (Gen Z) lebih memilih buku fisik karena alasan sensorik--bau kertas, tekstur halaman, dan ketiadaan kelelahan mata.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori embodied cognition (Lakoff & Johnson, 1999), yang menyatakan bahwa pengalaman fisik memengaruhi pemrosesan kognitif.
Membaca buku fisik dianggap lebih "menghadirkan" makna dibandingkan layar digital yang cenderung dangkal (shallow reading).
Selain itu, di tengah derasnya arus digitalisasi, Swedia juga justru mengadopsi kebijakan kembali ke buku fisik setelah 15 tahun menggunakan buku digital dalam pendidikan.
Pemerintah Swedia menemukan bahwa digitalisasi yang masif menurunkan tingkat literasi, pemahaman membaca, dan daya konsentrasi siswa.
Fenomena ini juga didukung oleh survei di Indonesia yang menunjukkan bahwa masyarakat masih lebih memilih buku fisik dibandingkan e-book, karena buku fisik memberikan nilai tambah berupa kenyamanan membaca, kepuasan psikologis, dan aspek koleksi yang tidak dimiliki oleh buku digital.
Kecenderungan ini juga dapat dianalisis melalui pendekatan teoritik hermeneutika dan psikologi kognitif yang membahas bagaimana interaksi fisik dengan objek bacaan dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya