Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Saya tidak ingin anak saya tumbuh menjadi laki-laki yang menganggap diam adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik.
Saya ingin dia punya keberanian untuk bicara, untuk berkata "aku nggak suka diperlakukan seperti itu," atau "aku butuh waktu sendiri dulu," atau bahkan sekadar bilang "aku lelah hari ini."
Semua itu ternyata bisa dilatih dari hal-hal yang terlihat sepele seperti rutinitas ngobrol sebelum tidur.
Bukan Sekadar Tanya-Jawab Biasa
Banyak orangtua ingin dekat dengan anak, ingin tahu isi hati mereka, tapi tanpa sadar memperlakukan momen ngobrol sebagai sesi interogasi. Saya pernah begitu juga.
Di awal-awal, saya terbiasa menanyakan, "Cato kenapa diem aja kalau di sekolah?" atau "Kok nilai Cato ada yang turun?" Pertanyaannya memang tampak peduli, tapi nadanya sering penuh tekanan. Akhirnya, anak hanya menjawab sekenanya atau malah menghindar.
Saya belajar bahwa deep talk yang berhasil justru terjadi saat kita melepas niat menghakimi, menyudutkan, atau buru-buru memberi solusi. Obrolan yang saya dan anak saya bangun sebelum tidur bukan percakapan formal.
Tidak ada target harus dapat jawaban. Tidak selalu berakhir dengan kesimpulan atau nasihat. Kadang kami hanya tertawa membahas kejadian lucu di sekolah, kadang juga merenung bersama tentang perasaan sedih yang belum bisa dia jelaskan sepenuhnya.
Yang penting adalah suasana yang aman dan nyaman. Anak tahu bahwa dia didengarkan. Bahwa ia boleh salah, boleh bingung, dan boleh jujur. Saya pun belajar untuk tidak memotong ucapannya, tidak menghakimi reaksinya, dan tidak mengalihkan topik ketika dia mulai menyentuh hal-hal yang mungkin terdengar sepele bagi orang dewasa, tapi ternyata penting untuknya.
Percakapan semacam ini memang butuh waktu dan latihan. Tapi semakin sering dilakukan, semakin dalam ikatan yang terbentuk.
Saya bahkan sering menemukan bahwa lewat obrolan ini, anak saya mulai mengenali emosinya sendiri dan ia belajar menyebutkan apa yang ia rasakan, menjelaskan apa penyebabnya, dan kadang malah bisa menarik kesimpulan sendiri tanpa perlu saya arahkan.
Hasil yang Saya Lihat: Anak Lebih Percaya Diri dan Terbuka
Perubahan itu tidak terjadi dalam semalam. Tapi dari tahun ke tahun, saya bisa melihat sendiri bagaimana rutinitas kecil ini membentuk pribadi anak saya.
Ia menjadi lebih berani menyampaikan pendapat, tidak segan mengungkapkan rasa kecewa atau tidak setuju, dan yang paling saya syukuri yaitu ia tidak merasa tabu untuk menunjukkan perasaannya, termasuk rasa sedih atau takut.
Di sekolah, gurunya pernah bilang kalau anak saya sudah berani berpendapat tapi tetap sopan. Ia bisa mengutarakan pendapat saat berdiskusi, dan mampu menjelaskan kenapa ia memilih diam atau mundur dalam situasi tertentu.