Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hilman I.N
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Hilman I.N adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia

Kompas.com, 28 Mei 2025, 17:46 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Apakah ini berarti Indonesia harus puas dan berhenti mengejar pembangunan ekonomi? Tentu tidak. Tapi ini adalah sinyal bahwa arah pembangunan harus lebih holistik. 

Kita tidak bisa terus mengukur kemajuan dari beton dan bandwidth. Kita harus mulai mengukur apakah masyarakat merasa hidup mereka bernilai.

Studi ini juga menunjukkan bahwa kesejahteraan bukan sesuatu yang linier. Di beberapa negara seperti Jepang dan Hong Kong, rasa sejahtera justru menurun di usia menengah. 

Sedangkan di Indonesia, sebaliknya, usia produktif justru menjadi puncak rasa kesejahteraan. Mungkin karena di usia itulah seseorang mulai mapan secara sosial dan spiritual. Mereka tidak sekadar bekerja untuk hidup, tetapi mulai hidup untuk memberi makna.

Di titik ini, kita menemukan ironi sekaligus harapan. Di negara yang kerap dinilai gagal dalam berbagai indeks internasional, justru tumbuh rasa sejahtera yang kuat.

Di tengah banjir berita buruk, masyarakat masih menemukan ketenangan dalam hal-hal kecil: makan bersama keluarga, salat berjamaah, rewang tetangga yang melahirkan.

Ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Viktor Frankl, seorang psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi.

Menurut Viktor Frankl, manusia bukan semata mencari kebahagiaan, melainkan makna. Dan kadang-kadang, makna tidak ditemukan dalam pencapaian besar, tetapi dalam pengalaman sederhana yang memperlihatkan bahwa kita masih berguna bagi orang lain.

Tentu saja, kita tidak boleh menjadikan hasil studi ini sebagai dalih untuk menutupi masalah struktural. Tapi kita juga tak perlu merasa malu untuk merasa bahagia.

Justru dari rasa cukup dan hubungan sosial yang kuat inilah kita bisa membangun basis pembangunan yang lebih berkelanjutan.

Jika pemerintah jeli, hasil studi ini bisa menjadi panduan untuk menyusun ulang prioritas kebijakan.

Pendidikan tidak boleh hanya menghasilkan tenaga kerja, tapi juga manusia utuh. Pembangunan tidak boleh sekadar membangun jalan tol, tapi juga ruang publik yang memungkinkan orang bersosialisasi.

Kesehatan tidak boleh hanya berfokus pada rumah sakit, tapi juga pada kesehatan mental yang sering kali diabaikan.

Flourishing bukan utopia. Ia bisa dirawat, dibangun, dan dijaga. Tapi ia menuntut keberanian untuk melawan arus global yang mengukur nilai manusia dari produktivitas semata.

Mungkin dalam kesederhanaan dan keramahan yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja, tersembunyi kekuatan yang selama ini tidak kita sadari.

Indonesia tidak sempurna. Tetapi mungkin, dalam banyak hal, kita sudah lebih utuh dari yang kita kira.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengapa Indonesia Dianggap Paling Sejahtera di Dunia?"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau