Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Han
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Agung Han adalah seorang yang berprofesi sebagai Wiraswasta. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Turut Campur Mencari Jodoh yang Sudah Diatur

Kompas.com - 26/06/2025, 15:18 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

"Jodoh sudah ada yang mengatur". Familiar dengan kalimat tersebut?

Kondisi seperti sekarang, yang mana banyak orang kesulitan menemukan jodohnya, kerap menggunakan kalimat tersebut untuk menghibur dan dilain waktu untuk membela diri.

Ya, biasanya sebagai penghiburan bagi orang yang ditinggal kekasih hati. Atau sebagai kalimat membela diri, bagi yang tak kunjung bersua tambatan hati.

Saya team keduanya, pernah merasakan sendiri saat bujangan. Mengalami dua keadaan, sekaligus memanfaatkan kalimat 'sakti' tersebut. Baik untuk menghibur diri,  di kemudian hari sebagai kalimat pembela diri.

Saya masih ingat, suasana hati saat mengucapkan "jodoh ada yang mengatur". Seperti ada perasaan pasrah dan gamang, seolah tak ada pijakan yang pasti.

Menjawab pertanyaan orang, dengan kalimat dimaksud. Saya sangat berharap orang lekas mengerti, segera berhenti memojokkan dan tidak berlarut- larut. Pada saat bersamaan , memendam harapan besar tapi tidak bisa memutuskan.

Berada di posisi demikian, saya menyadari sedemikian kerdilnya kita manusia. Tak punya kuasa sedikitpun, bahkan terhadap nasibnya sendiri. Kita sama sekali tidak punya kesanggupan, menentukan kejadian sesuai keinginan sendiri.

Bahwa se-optimis apapun, bakal memiliki seseorang. Atau seyakin apapun, segera menemukan kekasih dinanti. Tetap saja kita tak punya kuasa, mengatur yang akan terjadi esok hari.

Tuhan sangat demokratis, memberi kesempatan manusia untuk berusaha. Meski hasilnya tetap rahasia, Tuhan Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-Nya

Jodoh sudah diatur, tapi manusia musti turut campur.

***

Dulu sewaktu kuliah, saya pernah naksir adik kelas. Tidak butuh waktu lama, perempuan ditaksir menanggapi dengan baik.

Kost saya dekat kampus, kerap disamperin sebelum berangkat kuliah. Sampai dengan ibu kost kenal baik, pun dengan teman- teman kost yang lain.

Sebagai balasan, kalau libur saya ganti main ke rumahnya. Ketemu dan kenal dengan ibu, termasuk kakak laki-laki persis diatasnya. Penerimaan keluarga yang baik, membuat hati ini berbunga- bunga.

Saat itu umur saya diawal 20 tahun, memendam optimis yang besar. Bisa menikah selepas lulus, tak perlu menunggu umur duapuluh lima tahun. Saat itu sambil kuliah saya sudah bekerja, rasanya tak ada alasan mengulur waktu menikah.

Tapi rencana tak selalu mulus, harapan menikah nyatanya tinggal harapan. Ada masalah yang muncul, menggagalkan rencana baik tersebut. Setelahnya, butuh waktu lumayan lama untuk move on.

Ada rasa nelangsa bergelayut, saya seperti orang paling menderita sedunia. Sebagai pelarian, saya sempat bekerja di dua tempat.

Pagi jaga counter, sore kuliah, dan malam siaran Radio di Surabaya. Demikian berlangsung sampai lulus kuliah, mengenakan toga diwisuda.

Tahu- tahu, saya sudah masuk umur seperempat abad. Artinya target menikah tiba, sementara calon belum tampak batang hidungnya. Ya, jodoh sudah diatur tapi manusia musti turut campur. 

Jodoh Sudah Diatur tapi Manusia Musti Turut Campur

Melampaui umur duapuluh lima, saya sempat naksir anak magang di kantor media. Umurnya empat tahun lebih muda, dan tampak merespon niat baik saya. Beberapa kali minta diantar pulang, ke rumah kakak yang ditumpanginya.

Mula- mula ditemui kakak, kemudian diajak makan bareng keluarga. Dengan mobil kami ke sebuah rumah makan, ngobrol berbagi cerita ngalor ngidul.

Entah, apa yang mereka bicarakan selepas acara malam itu. Keesokan harinya, perempuan ditaksir mundur teratur. Bicaranya mulai menyebalkan, tingkahnya juga tak menyenangkan.

Sama seperti kejadiaan saat kuliah, saya dibuat merana berhari- hari. Untuk mengalihkan pikiran suntuk, saya menyibukkan diri dengan banyak kegiatan. Saat itu saya aktif berkesenian, dengan teman- teman di Taman Budaya Cak Durasim Surabaya.

Kemudian kesempatan datang, saya diterima bekerja di media iklan di Jakarta. Belum genap sepuluh tahun, saya hengkang dari kota Pahlawan. Kota yang telah menempa fisik dan mental, sehingga menjadi lebih kuat.

***

Mendekati umur tigapuluh tahun, ibu berubah menjadi manusia paling cerewet. Mendorong saya segera menikah, agar saat punya anak tidak ketuaan.

Sejujurnya, saya pribadi juga sangat ingin menikah. Pun usaha juga tak henti, buktinya gagal dan gagal lagi. Apa daya manusia, benar adanya bahwa jodoh sudah diatur.

Mendekati kepala tiga, usaha semakin maksimal. Mengerahkan segenap upaya dan cara, baik secara lahir maupun batin.

Upaya yang sama, pernah dikerahkan selama pencarian di Surabaya. Saya semakin gencar, minta bantuan teman kost, ibu kost, teman kantor.

Mengenalkan atau mencarikan, teman perempuan yang mau segera menikah. Berkali-kali saya janji ketemuan, tapi rupanya belum menemukan yang klik.

Pada pen-comblang-an yang kesekian kali, akhirnya ketemu perempuan dirasa cocok. Begitu umur tigapuluh, niat menikah itu akhirnya tertunaikan-- alhamdulillah.

Sungguh melegakan, bisa menuntaskan penantian panjang. Setelah lelah yang sangat, setelah pasrah nyaris menyerah.

Kalau dipikir- pikir sekarang, saya baru menemukan hikmah untuk perjalanan hidup yang penuh liku. Mengapa Sang Khaliq, mendatangkan jodoh sebagian hamba -Nya setelah berlelah- lelah.

Yaitu agar rasa sayang kepada pasangan besar, mengingat usaha yang dikerahkan juga besar. Lazimnya orang bekerja keras mendapatkan sesuatu, niscaya akan dijaga sepenuh hati setelah mendapatkannya.

Demikian pula orang menikah, setelah melewati usaha panjang. Dia akan menjaga pasangannya, sepenuh hati sepenuh jiwa raga.

Kita manusia, bisanya berusaha semampunya sebisanya. Soal hasil, biarlah waktu terbaik ditentukan pemilik semesta. Kalaupun takdir jodoh, ternyata tidak ketemu di dunia fana. Tidak masalah, karena itu bukan wewenang manusia.

Yang penting tidak putus asa, dan kita telah berusaha semampunya. Karena jodoh sudah diatur tapi manusia musti turut campur.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Jodoh Sudah Diatur tapi Manusia Musti Turut Campur"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau