
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Aku tidak malu karena anak menangis teriak-teriak. Namun, aku agak jengkel karena tidak berhasil menenangkan anak.
Masakan gegara anak rewel saat latihan push bike, orangtua ikut jengkel...?
Sudut Pandang Orangtua vs Anak
Masalahnya, anak tidak tahu bahwa orangtua sudah menginvestasikan waktu, tenaga, dan biaya untuk latihan push bike.
FYI, sekali latihan harus membayar iuran Rp15.000 khusus member. Anak dapat snack dan susu sih.
Orangtua tak kurang-kurang untuk mendukung dan mendorong anak latihan supaya keterampilan dirinya berkembang. Tapi kenapa latihan saja pakai rewel?
Mari kita lihat sudut pandang anak. Bermain adalah hobi dan dunianya. Melihat dan memegang mainan teman adalah kesenangan. Sedangkan mengikuti disiplin adalah siksaan.
Tapi anak lain bisa taat saja mengikuti arahan. Kenapa anakku tak bisa?
Ingat, Papa-Mama, setiap anak unik. Janganlah kita membandingkan anak kita dengan anak lain.
Tugas Kita Membukakan, Berikutnya Anak yang Menekuni
Di usia menjelang empat tahun, aku dan istri berkomitmen untuk membukakan banyak hal kepada anak. Biarkan dia mengenal, berinteraksi, dan mengalami. Berikutnya dia akan menekuni hal yang dia minati.
Kami baru sekitar setahun ini mendorong anak bermain push bike. Kami akan terus mengevaluasi, apakah setahun ke depan ia menaruh minat pada push bike atau tidak.
Meski saat kejadian anak rewel orangtua ingin jengkel rasanya. Tapi, yuk kita tetap fleksibel. Berikan ruang untuk anak berproses sesuai usianya.
Mengutip kalimat seorang kreator, anak perlu didengar. Orangtua sedang belajar.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Main Push Bike: Anak yang Rewel, Orangtua yang Jengkel"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang