Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bagaimana nasib limbah hasil laut yang setiap hari diolah oleh masyarakat pesisir? Apakah limbah itu hanya menjadi masalah lingkungan? Apakah itu bisa diubah menjadi sumber penghidupan baru yang lebih berkelanjutan?
Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan foto dan video tumpukan limbah cangkang kerang setinggi sekitar lima meter di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.
Tumpukan yang menyerupai ‘gunung’ buatan ini telah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga sekitar.
Berdasarkan pantauan sejumlah media, petugas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta turun tangan untuk mengangkut sebagian limbah.
Namun, pada saat yang sama, puluhan anak terlihat bermain di atas tumpukan tersebut, sementara pedagang kaki lima memanfaatkan keramaian untuk berjualan jajanan ringan.
Fenomena ini menunjukkan betapa persoalan limbah cangkang kerang di Cilincing sudah berlangsung lama dan belum menemukan solusi tuntas.
Sebagian besar masyarakat Cilincing bekerja sebagai nelayan kerang hijau. Mereka tidak hanya menjual kerang mentah, tetapi juga mengolahnya agar lebih mudah dikonsumsi pembeli. Proses ini memisahkan daging kerang dari kulitnya — dan di sinilah masalahnya bermula.
Sejak dibangunnya tanggul laut di Jalan Kalibaru Barat, warga kesulitan membuang kulit kerang ke laut seperti kebiasaan lama mereka.
Akibatnya, limbah tersebut menumpuk di pinggir pantai, tepat di dekat tanggul, hingga membentuk tumpukan besar yang viral di media sosial.
Fenomena ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa aktivitas ekonomi produktif tidak boleh mengabaikan dampak lingkungan yang menyertainya.
Ancaman Ganda bagi Lingkungan dan Kesehatan
Penumpukan limbah cangkang kerang di Cilincing memicu pencemaran lingkungan multidimensi. Dampaknya nyata:
Pendangkalan kawasan pesisir, yang mengganggu lalu lintas kapal nelayan.
Bau tak sedap dari tumpukan yang bercampur dengan sampah rumah tangga, mengganggu kenyamanan warga.
Ancaman kesehatan, karena limbah ini berpotensi menjadi sarang penyakit, terutama bagi anak-anak yang bermain di sekitar lokasi.
Masalah ini kian kompleks karena limbah cangkang kerang tidak bisa dibuang begitu saja ke Tempat Penampungan Sementara (TPS).
Pemerintah pun belum menyediakan fasilitas khusus untuk pengelolaan limbah jenis ini. Warga akhirnya dihadapkan pada pilihan sulit: menumpuk limbah di pinggir pantai atau menghentikan mata pencaharian mereka.
Padahal, cangkang kerang bukan sekadar limbah. Karakteristiknya yang unik justru menjadikannya bahan baku potensial untuk berbagai produk bernilai ekonomi.
Ekonomi Sirkular Sebagai Solusi
Paradigma ekonomi sirkular bisa menjadi jalan keluar. Model ekonomi ini berfokus pada mengeliminasi limbah dengan merancang ulang sistem produksi dan konsumsi, sehingga sampah dapat menjadi sumber daya baru.
Dalam konteks Cilincing, cangkang kerang yang selama ini dianggap limbah sesungguhnya adalah bahan baku industri kreatif yang bernilai tinggi.
Data program TJSL PELNI menunjukkan bahwa cangkang kerang dapat diolah menjadi souvenir, dekorasi rumah, media tanam, hingga bahan bangunan ramah lingkungan seperti paving block.
Negara-negara seperti Filipina dan Thailand sudah membuktikan keberhasilan industri olahan cangkang kerang. Dengan garis pantai lebih dari 54.000 kilometer, Indonesia seharusnya bisa mengikuti jejak tersebut.
Dari sisi ekonomi, jika setiap rumah tangga pengolah kerang di Cilincing dapat menghasilkan produk kerajinan senilai Rp500.000 hingga Rp1.000.000 per bulan dari limbah yang sebelumnya terbuang, dampak ekonominya akan signifikan.
Nilai ini berpotensi mencapai ratusan juta rupiah per bulan untuk seluruh kawasan, belum termasuk efek ganda berupa lapangan kerja baru di sektor pengolahan dan pemasaran.
Pendekatan ini juga lebih efektif secara lingkungan dibanding metode pembuangan konvensional, karena mengurangi volume limbah secara signifikan sekaligus menciptakan nilai tambah.
Langkah Nyata yang Dibutuhkan
Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dan progresif agar masyarakat Cilincing tidak harus memilih antara mata pencaharian dan kelestarian lingkungan. Pendekatan reaktif — sekadar mengangkut sampah secara berkala — tidak lagi cukup.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
Mendirikan Pusat Pengolahan dan Pelatihan Cangkang Kerang di Cilincing sebagai tempat pengumpulan limbah, pelatihan keterampilan, sekaligus showroom produk olahan.
Menciptakan ekosistem pasar yang kuat melalui kebijakan khusus, seperti menyediakan area di pasar tradisional dan modern, memberikan insentif pajak, dan memfasilitasi platform e-commerce dengan branding “Produk Hijau Pesisir Jakarta.”
Memberdayakan kelompok rentan, seperti ibu rumah tangga dan pemuda, melalui pelatihan, modal usaha, dan pendampingan berkelanjutan.
Program semacam ini bukanlah charity, melainkan investasi jangka panjang dalam pembangunan ekonomi hijau perkotaan.
Momentum untuk Transformasi
Viralnya tumpukan limbah cangkang di Cilincing bukan sekadar berita negatif. Ini adalah momentum untuk perubahan.
Pendekatan ekonomi sirkular yang tepat, dukungan kebijakan pemerintah, dan partisipasi aktif masyarakat, Cilincing dapat bertransformasi menjadi model pembangunan ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan.
Jika berhasil, model Cilincing bisa direplikasi di ribuan komunitas pesisir lain di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa.
Anak-anak pun tidak lagi bermain di atas tumpukan limbah, tetapi melihat orang tua mereka mengolah limbah menjadi produk bernilai ekonomi.
Apakah kita akan membiarkan tumpukan limbah cangkang kerang ini menjadi simbol masalah tak terselesaikan, atau menjadikannya titik awal transformasi menuju ekonomi hijau yang inklusif?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Saatnya Cilincing Bertransformasi, dari Limbah Cangkang Kerang Menuju Ekonomi Sirkular"
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini