
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
“Mama santai aja, Papah jagain anak-anak.”
Kalimat sederhana itu terasa seperti izin untuk bernapas. Tak lama kemudian, kakak saya mengirim pesan singkat:
“Enjoy ya, kamu pantas istirahat.”
Saya membaca pesan itu sambil tersenyum. Rasanya seperti ada yang memahami—bahwa kadang, cara terbaik mencintai keluarga adalah dengan memulihkan diri sendiri dulu.
Me Time Bukan Egoisme, Itu Bentuk Cinta Diri
Masih banyak yang menganggap me time sebagai bentuk pelarian. Padahal, menurut psikolog klinis Tiara Puspita, self-care bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar agar keseimbangan emosional tetap terjaga.
Ibu yang tidak diberi ruang istirahat justru berisiko kehilangan kendali emosi—dan dampaknya bisa dirasakan seluruh keluarga.
Penelitian lokal juga menunjukkan bahwa semakin sering seorang ibu melakukan self-care, semakin baik pula kemampuannya mengelola stres pengasuhan.
Maka, dengan kata lain, waktu untuk diri sendiri bukan pelarian—melainkan investasi kecil agar tetap utuh, sehat, dan bahagia.
Saya teringat kalimat dari seorang konselor yang pernah saya dengar:
“Ibu yang menolak istirahat sebenarnya sedang menabung kelelahan untuk besok.”
Dan saya pernah merasakannya—marah hanya karena tumpahan susu, menangis karena suara tangisan anak terasa begitu bising di kepala. Saat itu saya sadar: saya tidak butuh nasihat, saya butuh jeda.
Pulang dengan Versi Diri yang Lebih Tenang
Keesokan paginya, saya bangun tanpa alarm, tanpa tangisan, tanpa terburu-buru.
Saya membuka gorden, membiarkan matahari pagi masuk lembut ke kamar.
Rasanya seperti hidup kembali berjalan pelan, setelah sekian lama terasa seperti lomba maraton tanpa garis akhir.