
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Beberapa hari lalu saya mengisi sesi khusus menulis untuk widyabasa --garda bahasa dan sastra Indonesia-- di Badan Bahasa.
Ketika hendak meninggalkan ruangan, saya melihat buku Kang Yudi Latif, Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia. Ada satu eksemplar tersisa untuk saya beli.
Sehari kemudian, barulah Kang Yudi Latif mengisi juga di kelas widyabasa yang sama. Saya tak sempat bersua. Topiknya pastilah tentang apa jadinya dunia tanpa bahasa Indonesia.
Saya pun terpikir menulis apa jadinya Indonesia tanpa guru penulis. Mari memulai dengan peristiwa terbaru saat ini.
Bencana adalah sebuah refleksi. Hari-hari terakhir ini masyarakat Indonesia disuguhi oleh berita duka terkait dengan bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Sebagai Gen-X, saya teringat dulu pelajaran tentang lingkungan di mapel IPA dan IPS. Selalu ditekankan bahaya penggundulan hutan dan perlunya penanaman pohon kembali (reboisasi).
Buku-buku pelajaran memuat tentang pesan bahayanya penggundulan hutan yang bakal menyebabkan erosi. Harus ada gerakan reboisasi.Â
Pelajaran itu saya terima pada era 1980-an. Kini pada era 2020-an, bencana demi bencana terus terjadi. Entahlah apakah pelajaran tentang kesadaran lingkungan hanya wacana belaka.
Beberapa novel anak yang saya baca juga sering memasukkan konteks cerita penebangan hutan (pembalakan) liar yang menampilkan tokoh-tokoh antagonis para perusak hutan. Semua hal yang dituliskan itu saya pelajari sebagai mitigasi dan dampak luar biasa yang bakal terjadi.
Pada hari-hari ini bencana itu benar-benar terjadi. Sekolah-sekolah hancur dan guru-guru "menganggur". Murid-murid tak lagi dapat belajar. Buku-buku telah hanyut bersama banjir.
Apa yang dapat dilakukan oleh seorang guru penulis? Sebuah cerita pun dapat digagas tentang robohnya sekolah kami akibat bencana yang sudah diperingatkan jauh-jauh hari.
Seorang guru dimungkinkan menuliskan cerita duka ini sebagai pembelajaran untuk murid-muridnya dan anak-anak masa mendatang. Seorang guru dapat pula menuliskan peristiwa duka ini menjadi cerita yang inspiratif tentang bagaimana mereka dapat bertahan di tengah situasi yang mencekam.
Sungguh betapa mahal pembelajaran yang kita terima dari bencana. Dari sisi ini saya menulis tentang peran guru dalam mencermati peristiwa, fenomena, dan momentum untuk dituliskan agar tak lekang di dalam ingatan dari generasi ke generasi.Â
Saat Musyawarah Nasional Ikatan Penerbit Indonesia, 28 November 2025, Mendikdasmen Abdul Mu'ti sebagai pembicara kunci menyebut peran besar penerbit dan penulis dalam membentuk generasi pemelajar.
Dengan tantangan menghadapi generasi saat ini maka buku itu harus menarik sekaligus berdampak. Dalam istilah saya, memiliki daya gugah, daya ubah, dan daya indah.
Seperti konteks daya indah, Menteri Mu'ti menyentil buku-buku teks yang tidak handy (mudah dibawa) karena berukuran besar dan tebal. Buku dengan desain yang tidak eye catching karena terlalu padat, miskin visual, atau terkesan seperti desain tempo dulu.Â
Namun, saya dapat memahami mengapa buku-buku teks yang terbit kini itu besar dan tebal karena tuntutan kurikulum juga sangat padat.
Meskipun ada pendekatan buku teks pendamping, yang memungkinkan penerbit fokus pada satu capaian pembelajaran, tidak ada penerbit yang berminat menerbitkannya. Soalnya, dari sisi pasar, sekolah (guru) menginginkan buku yang lengkap dan tuntas.
Lengkap dan tuntas itu selalu berhubungan dengan ketebalan dan ukuran buku. Biar buku mencakup semua capaian pembelajaran dan tidak menjadi sangat tebal maka ukuran buku diperbesar, apalagi untuk menyediakan ruang yang cukup bagi visualisasi.
Selain daya indah, Menteri Mu'ti menyentil soal daya gugah dan daya ubah. Buku-buku dengan alur pikir yang sirkular --cenderung berputar-putar alias tidak runut dan runtut menghambat minat membaca. Karena itu, sebaiknya guru-guru dilatih menulis. Penerbit harus berperan mencetak guru-guru penulis.
Ada kepentingan untuk mencetak guru-guru penulis yang lebih memahami bagaimana murid belajar; apa yang menarik minat para murid untuk dipelajari; dan bagaimana sebuah pembelajaran disampaikan dengan cara-cara kreatif.
Soalnya, guru-guru juga dihadapkan dengan berbagai konsep pembelajaran, seperti deep learning dan buku berbasis STEAM (science, technology, engineering, art, math). Konsep-konsep itu menjadi tidak "berbunyi" jika disampaikan oleh penulis yang tidak kompeten meskipun ia seorang guru.
Guru memang tidak seperti dosen yang harus menghasilkan karya tulis ilmiah dalam berbagai bentuk, termasuk buku. Namun, semangat guru untuk menulis, terutama menulis buku termasuk tinggi.
Banyak guru yang awalnya tertarik dalam program penerbitan buku antologi (menjadi kontributor) lalu ikut program menerbitkan buku karya sendiriâ??sering disebut buku solo.
Semangat itu muncul karena adanya pelatihan-pelatihan penulisan yang marak, baik dilakukan oleh lembaga diklat maupun oleh lembaga pemerintah.
Banyak pelatihan yang lebih mengarahkan guru untuk berani menulis dengan model mengisahkan pengalaman-pengalaman guru. Karena itu, lebih banyak buku karya guru yang muncul dalam bentuk memoar.
Selain itu, ada juga buku-buku berpola klaster, antologi tulisan yang merupakan kumpulan tulisan sendiri, seperti artikel opini, esai, atau cerpen.
Guru-guru lebih memilih untuk menunjukkan eksistensinya dalam menulis, terutama menulis buku. Jadi, apa pun bukunya, yang penting buku. Apa pun tulisannya, yang penting menulis.
Imbauan Menteri Mu'ti sebenarnya bukan sekadar guru mau menulis lalu menerbitkan buku sendiri, melainkan guru benar-benar kompeten menulis, terutama terkait dengan penyusunan bahan pembelajaran. Sebenarnya ada pertanyaan yang mendasar.
Apakah penulis bahan pembelajaran itu lebih baik guru/orang yang pernah mengajar atau boleh siapa saja tanpa harus guru? Mana yang akan lebih baik menulis bahan pembelajaran, guru atau nonguru?
Sepengalaman saya ketika menulis bahan pembelajaran, tanpa pengalaman mengajar maka saya tidak dapat membayangkan apa kebutuhan pembaca sasaran sebenarnya dan bagaimana situasi di kelas saat pembelajaran berlangsung. Artinya, meskipun saya paham dengan kurikulum, belum tentu saya mampu menuliskannya dengan baikâ??sebaik jika saya menjadi seorang guru.
Dalam menulis bahan pembelajaran, seorang penulis perlu melakukan transfer of knowledge, transfer of skill, dan transfer of wisdom yang berpusat pada siswa/murid.
Transfer kearifan itulah yang diandalkan kepada penulis buku yang merupakan seorang guru. Bukan sekadar mengalirkan pengetahuan dan keterampilan secara normatif, melainkan juga mengalirkan maknaâ??implementasi pembelajaran yang bermakna (meaningfull).
Pernah suatu ketika saya diminta mengajar siswa kelas XI sebuah SMA swasta di Bandung. Saya mengajar mapel Bahasa Indonesia dengan fokus utama kemahiran menulis. Itu merupakan suatu hal baru sekaligus tantangan bagi saya membuat para siswa itu tertarik dengan dunia tulis-menulis.
Secara teoretis mereka memasuki tahap menulis secara menyenangkan setelah menikmati membaca secara menyenangkan. Ketika mereka membenci atau tidak menyukai kegiatan membaca maka menulis pun menjadi sulitâ??untuk tidak mengatakan mustahil.
Dorongan menulis juga akan semakin kuat dengan kebebasan mengekspresikan sesuatu. Saya ingat dulu saat SMP, wali kelas saya yang juga guru Bahasa Indonesia mewajibkan semua murid menulis buku harian kelas setiap hari secara bergiliran. Mau tidak mau semua murid menulis dan wali kelas saya itu membebaskan apa pun ekspresi tulisan itu bentuknya, termasuk gambar. Tidak ada beban bagi kami, murid kelas IX SMP itu untuk menulis apa pun. Beban kami cuma satu, harus menulis!
Jadi, saya menjadi guru menulis karena saya dikenal sebagai penulis atau bekerja sebagai penulis. Lalu, apakah semua guru harus mengajarkan menulis?
Jawaban saya, YA, karena tidak ada satu bidang pun di dunia ini dapat lepas dari tulis-menulis. JIka guru tidak secara langsung mengajarkan tentang menulis, ia harus paham tentang tulisan yang buruk dan tulisan yang baik.
Karena itu, guru memang perlu terampil menulis agar ia mampu menilai produk tulisan dari para murid. Level selanjutnya ia mampu menulis bahan pembelajaranâ??termasuk buku teksâ??dengan baik.
Level lebih naik lagi, ia mampu mengalirkan cerita, pemikiran, penemuan, dan pengalaman dalam bentuk tulisan yang lebih bebas, baik fiksi maupun nonfiksi, yang menarik minat membaca orang lain. Sebagaimana guru-guru di Sumatra dapat mengisahkan peristiwa bencana yang terjadi di sana.
Melatih guru-guru untuk mahir menulis menjadi sebuah keniscayaan menuju pendidikan yang makin bermutu. Guru dapat lebih berdaya dan berdampak dengan menulis, terutama bahan pembelajaran sebagai sebuah terobosan.
Kita memerlukan daya kreatif guru untuk merancang bahan pembelajaran, terutama buku-buku yang menarik untuk generasi Alfa kini.
Pelatihan guru menulis perlu diprogramkan secara nasional dengan merancang silabus pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru menulis, termasuk tren penulisan yang telah berkembang.
Tiga fase menulis yang perlu dilatihkan, yaitu pramenulis, menulis draf, dan swasunting. Idealnya guru dilatih menulis selama 3 hari dalam kelas yang intensif. Guru-guru tersebut juga dipersiapkan melatih rekan-rekannya yang lain, termasuk murid-muridnya.
Saat acara Munas Ikapi tahun ini, Menteri Mu'ti juga menyampaikan imbauan agar guru menjadikan membaca buku dan menulis resensi sebagai PR.
Meskipun soal PR ini sering kali menjadi polemik, antara perlu dan tidak perlu, PR membaca buku bukanlah PR yang memberatkan, bahkan malah menyenangkan. Selesai membaca buku lalu menulis resensi adalah sebuah tantangan.
Namun, syaratnya bukuâ??buku nonteksâ??harus tersedia dan banyak. Buku harus mudah didapatkan dan tersedia dalam banyak judul dan banyak genre. Jangan sampai murid diberi PR membaca buku teks dan meresensinya.
Hal itu menjadi salah sasaran. Karena itu, janji Menteri Mu'ti menaikkan anggaran DAK untuk buku menjadi harapan menggairahkan kegiatan penulisan dan penerbitan.
Sepanjang saya melatihkan kepenulisan di daerah-daerah, peserta guru selalu ada. Mereka selalu antusias memperoleh ilmu baru tentang kepenulisan sebagai tanda munculnya kesadaran bahwa menulis itu penting --penting untuk karier mereka dan penting untuk generasi pembelajar masa depan.
Setidaknya mereka mulai berpikir menulis untuk mengubah pembaca dari tidak tahu menjadi tahu; dari tahu menjadi paham; dari paham menjadi mempraktikkan; dan seterusnya.
***
Lahirnya para guru penulis sudah terjadi sejak dulu. Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, adalah seorang penulis. Mohammad Sjafei pendiri INS Kayutanam, adalah seorang penulis. Penulis-penulis pada zaman Balai Poestaka juga banyak muncul dari kalangan guru. Mereka guru penulis yang canggih pada zamannya.
Pendiri Penerbit Tiga Serangkai yang legendaris adalah suami-istri guru yang menulis. Pendiri Penerbit Erlangga, juga seorang guru yang menulis. Dua penerbit itu merupakan dua kekuatan besar penerbit buku pendidikan yang masih eksis sampai kini.
Ya, apa jadinya dunia tanpa guru yang menulis? Apa jadinya Indonesia tanpa guru yang menulis?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Apa Jadinya Indonesia Tanpa Guru Penulis?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang