Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kekacauan Lalu Lintas Bukan Salah Pengendara"
Dalam konteks lalu lintas, ada istilah “Sopir Medan” yang kerap kali saya dengar dalam guyonan.
Sopir Medan diasosiasikan dengan orang Medan yang mahir menyetir atau mungkin lebih tepatnya berani dan sigap.
Jangan meragukan kemampuan menyetir orang Medan, begitulah kira-kira inti guyonan tersebut. Terkesan memuji, padahal sebenarnya merupakan penggambaran sisi negatif kondisi lalu lintas di Medan.
Guyonan itu secara tidak langsung menyatakan bahwa lalu lintas di Medan berbahaya, sehingga menimbulkan kesan bahwa kemampuan menyetir seseorang akan terasah seiring bertambahnya jam terbang mengemudi di Medan.
Dari situ banyak orang beranggapan jika seseorang sudah mampu dan mahir mengemudikan kendaraannya di Medan, maka dia akan dianggap mampu mengemudi di kota mana pun.
Hal itu karena tingkat kesulitan mengemudikan kendaraan di Medan diasumsikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain.
Terlepas apakah Anda setuju atau tidak dengan anggapan tadi, saya pernah melihat seorang pelancong menumpahkan kekesalannya akan Kota Medan di blog pribadinya.
Salah satu alat ukur yang ia gunakan adalah lalu lintas. Perlu diakui memang berkendara di Medan itu harus didukung kesiagaan penuh serta refleks yang tinggi karena kendaraan atau pejalan kaki bisa muncul dari arah mana saja secara tiba-tiba.
Sebenarnya hal ini terjadi tidak hanya di Medan, di banyak kota besar di Indonesia kondisi lalu lintasnya juga semrawut jika kita membandingkannya dengan banyak kota di negara maju.
Jakarta, pada tahun 2017 menempati posisi ke-12 sebagai kota dengan lalu lintas terburuk di dunia menurut survei Inrix.
Alasan utama dari survei itu memang kemacetan, akan tetapi di tengah kemacetan itu juga ada andil ketidaktertiban berkendara sehingga lalu lintas menjadi kacau.
Padahal jika mau ditilik lebih dalam, kekacauan lalu lintas bukan soal salah pengendara semata, melainkan salah pemerintah.
Berdasarkan pengamatan pribadi, kekacauan lalu lintas turut disebabkan oleh dua hal. Pertama, pelanggaran yang disengaja. Kedua, ketidaktahuan peraturan dan etika.
Seperti misalnya menerobos lampu merah adalah jelas sebuah pelanggaran yang disengaja, begitupun dengan melawan arah. Namun, banyak kekacauan lalu lintas di jalan raya juga disebabkan oleh ketidaktahuan.
Contoh lain, banyak pengendara di jalan raya tidak paham bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk berhendi di tengah-tengah persimpangan.
Jika kondisi persimpangan sedang macet, pengendara di jalur yang mendapat lampu hijau seharusnya tidak masuk ke area silang persimpangan tetapi menunggu sampai persimpangan cukup lengang agar dapat dilalui sebelum lampu di jalur lain berubah hijau.
Hal ini karena jika kendaraan kita terjebak di tengah persimpangan, maka kendaraan dari jalur yang lampunya telah hijau akan terhalang kendaraan kita. Demikian juga seterusnya, ketika jalur lain secara bergantian sudah mendapat lampu hijau, maka situasi akan menjadi lebih kacau.
Contoh lainnya adalah soal batas kecepatan berkendara. Banyak dari kita sebagai pengendara tidak mengetahui tentang aturan batas maksimum laju kendaraan di dalam kota.
Padahal aturan tersebut sudah tertuang dalam UU 22/2009 kemudian diperinci di Peraturan Menteri Perhubungan 11/2015.
Namun faktanya di lapangan, masih banyak pengendara yang tidak tahu soal itu dan masih memacu laju kendaraannya melebihi batas maksimum 30 km/jam jika sedang berada di kawasan pemukiman dan melebihi batas maksimum 50 km/jam di jalanan kota.