Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dari situ, maka bisa dikatakan bahwa tidak banyak orang yang mengetahui tentang peraturan dan undang-undang tersebut.
Ada aturan lain yang sepertinya jarang dipraktikkan di Indonesia, paling tidak di Medan. Aturan tersebut adalah ketika jalan menyempit, dari dua jalur menjadi satu jalur, maka seharusnya pengendara dari kedua jalur masuk secara bergantian ke jalur tunggal tersebut.
Aturan atau prinsip ini biasa dikenal dengan aturan ritsleting atau kancing tarik. Tujuan dari adanya aturan ini adalah tidak akan ada pengendara yang saling serobot, saling membunyikan klakson, dan saling bersenggolan satu sama lain.
Mungkin banyak dari kita yang sering mendengar atau melihat kecelakaan di persimpangan jalan yang tidak dilengkapi dengan lampu lalu lintas.
Adanya kecelakaan tersebut apakah artinya dengan tidak adanya lampu lalu lintas maka kendaraan dari semua arah bisa melintas sesuka hati?
Jawabannya tidak. Hal ini karena walau tidak terdapat lampu lalu lintas di sebuah persimpangan, mestinya akan ada jalur yang diprioritaskan dan jalur yang harus mengalah.
Lantas, dari mana kita sebagai pengendara bisa tahu jalur mana yang menjadi prioritas dan jalur mana yang harus mengalah?
Jawabannya tentu dari marka jalan. Di sebuah persimpangan tanpa lampu lalu lintas, pasti akan ditemukan jalur dengan marka jalan yang ditandai garis putih melintang tanpa terputus.
Jika menemukan jalur dengan marka tersebut di sebuah persimpangan tanpa lampu lalu lintas, artinya pengendara yang berada di jalur tersebut harus mengalah dan berhenti. Biasanya jalur yang harus mengalah adalah jalan yang lebih kecil.
Sebaliknya, jika menemukan jalur yang tidak terdapat garis putih melintang tanpa terputus, artinya pengendara yang berada di jalur tersebut diperbolehkan terus melaju tanpa harus berhenti.
Ketidaktahuan pengendara akan arti rambu dan marka bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena tidak pernah belajar aturan lalu lintas. Kedua, karena rambu atau markanya memang tidak ada.
Banyak persimpangan yang tidak dilengkapi lampu lalu lintas, pun tidak dilengkapi marka garis di aspal. Tak sedikit pula garis tidak terputus justru dipasang di jalan yang lebih besar.
Jika merujuk pada pembahasan sebelumnya, kekacauan lalu lintas biasanya disebabkan oleh dua hal, yaitu kesengajaan dan ketidaktahuan.
Kesengajaan wajib diberi sanksi, sebagaimana yang sudah diatur di undang-undang dan peraturan lalu lintas.
Kenapa masih banyak yang melanggar? Masalahnya juga ada dua, inkonsistensi pemberian sanksi dan atau sanksinya yang tidak membuat jera.
Konsistensi sanksi tidak bisa hanya mengandalkan manusia tetapi harus dibantu hal lain, misalnya perangkat elektronik.
Manusia memiliki keterbatasan waktu dan perhatian, sementara perangkat elektronik lebih konsisten karena tidak memiliki keterbatasan seperti manusia.
Selain itu, kebanyakan sanksi masih terbilang ringan, alhasil tidak membuat jera para pelanggarnya. Sebaliknya, sanksi yang berat akan membuat pelanggarnya jera, sekaligus berfungsi sebagai instrumen pencegahan (preventif) di kemudian hari.
Sehubungan dengan sanksi ini, saya memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan saat baru tinggal di Wellington, Selandia Baru.
Waktu itu, saya dijatuhi denda akibat melewati batas kecepatan di jalan dengan aturan laju kendaraan maksimum adalah 80 km/jam. Ternyata laju mobil saya melebihi batas maksimum, yaitu 96 km/jam.
Akibatnya saya dikenakan sanksi dan diharusnya membayar denda sebesar 1,2 juta rupiah. Berkat pengalaman ini saya jadi kapok alias jera dan itu merupakan pertama dan terakhir kalinya saya overspeeding di Selandia Baru.