Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Masalah impor pakaian dan sepatu bekas kembali mencuat di bulan Maret 2023. Apa yang dipersoalkan para pelaku industri tekstil dan pejabat pemerintah adalah hal seperti impor ilegal, sampah berpenyakit, dan mematikan industri lokal.
Pemerintah kemudian melarang impor pakaian bekas berdasarkan ketiga hal tadi. Padahal, ada pertanyaan penting yang perlu dijawab, apakah memang tiga alasan tersebut valid?
Pada tahun 2021, Kompas pernah mengungkapkan bahwa Indonesia pernah menerima sebanyak 27,420 ton baju bekas impor dengan nilai total 31,95 juta dollar AS. Data ini diperoleh dari catatan negara pengekspor baju bekas tersebut yang diimpun dari situs Trade Map.
Namun, catatan berbeda ditujunjukkan oleh BPS yang mengungkapkan bahwa di tahun yang sama Indonesia hanya menerima 8 ton baju impor bekas dengan nilai total sebesar 44.000 dollar AS.
Dari perbedaan data tersebut terlihat bahwa 99,9% volume pakaian impor bekas yang masuk ke Indonesia tidak terdata atau bisa dikatakan tidak melalui prosedur impor yang legal.
Sayangnya memang data yang dipaparkan Kompas tidak menyebut negara mana saja yang bertindak sebagai pengekspor baju bekas tersebut, jadi tidak bisa ditelusuri lebih jauh.
Meski terdapat indikasi baju bekas yang masuk ke Indonesia tidak melalui prosedur legal, namun Direktorat Jenderal Bea Cukai mengaku telah melakukan 234 penindakan terhadap total 6.177 bal pakaian bekas impor ilegal selama tahun 2022.
Hal yang perlu disadari adalah bahwa impor ilegal melanggar peraturan. Tak hanya merugikan negara, tetapi juga pebisnis legal.
Jika mengacu pada permasalahan impor ilegal tentu pemerintah tidak perlu mengeluarkan instruksi pelarangan impor pakaian bekas. Sebab memang aktivitas tersebut sudah jelas ilegal terlepas apapun jenis barangnya.
Apa yang bisa dijadikan solusi atas permasalahan impor ilegal ini adalah dengan meningkatkan pengawasan barang yang masuk ke Indonesia.
Perlu diakui memang pakaian beas termasuk limbah, akan tetapi belum tentu sampah. Pengertian limbah dan sampah dalam bahasa Indonesia mungkin terkesan sama, namun dalam bahasa Inggris pengertian limbah (waste) berbeda dengan sampah (garbage).
Limbah (waste) dimaknai sebagai benda yang sudah tidak digunakan lagi karena penurunan nilai yang biasanya sisa dari produksi.
Limbah belum tentu tidak berguna, sehingga terdapat proses pengolahan limbah agar bisa digunakan lagi meski dalam bentuk yang lain.
Sementara sampah (garbage) dimaknai sebagai benda yang tidak berguna lagi. Sampah tidak dapat didaur ulang walaupun bisa diolah lebih lanjut.
Salah satu contoh dari sampah berdasarkan pengertian tadi adalah sampah sayuran. Sampah sayuran tidak bisa digunakan lagi sebagai sayuran yang bisa dimakan, namun dapat diolah menjadi pupuk eco-enzym.
Di banyak negara maju, tempat pembuangan garbage dan waste ini dipisah sebab karakteristik dan cara penanganan keduanya berbeda.
Pakaian bekas di luar negeri biasanya selalu disebut waste, kecuali pakaian itu membusuk atau sudah tidak berbentuk lagi.
Dengan begini, persoalan mengenai pakaian bekas adalah sampah kurang tepat. Lebih tepatnya adalah limbah.
Sampah tentu harus langsung dibuang, namun limbah tidak boleh langsung dibuang melainkan harus didaur ulang.
Meski begitu, untuk mendaur ulang pakaian bekas bukanlah hal yang mudah. Dilansir dari BBC, hanya 1% pakaian bekas yang bisa didaur ulang menjadi pakaian baru.
Sementara menurut Greenmaters, limbah pakaian bekas yang bisa didaur ulang hanya 15%, selebihnya akan berakhir di tempat sampah.