Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kasus rabies kembali muncul di Indonesia dan sudah memakan korban. Rabies atau penyakit yang juga dikenal dengan sebutan Anjing Gila ini pertama kali dilaporkan telah memakan korban di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Melansir Kompas.id, hingga tanggal 6 Juli 2023 Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanggulangan Rabies di TTS Adi Tallo mengatakan sudah ada 691 kasus gigitan anjing rabies pada warga TTS. Lanjutnya, dari 691 kasus tersebut enam di antaranya meninggal dunia.
Pemerintah Kabupaten TTS mengambil langkah cepat dengan menutup dan mengisolasi Desa Fenun di Kecamatan Amanatun Selatan yang menjadi lokasi awal munculnya kasus rabies di Pulau Timor.
Jika saja pemerintah setempat tidak mengambil tindakan cepat dan tepat untuk mengatasi kasus rabies ini, bukan tidak mungkin seluruh wilayah di Pulau Timor akan tertular rabies.
Risiko ini juga termasuk potensi virus rabies akan bisa merambah ke negara tetangga, Timor Leste. Mengingat penularan rabies sangat cepat dan virulen.
Maka dari itu, apa yang dilakukan oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang yang telah menutup Pulau Timor dari lalu lintas hewan pembawa rabies (HPR), seperti anjing, kucing, dan kera adalah keputusan yang sangat tepat.
Bahkan langkah penutupan wilayah Pulau Timor dari HPR ini telah dilakukan sejak tanggal 30 Mei 2023, baik itu melalui jalur laut, udara, dan juga melalui Pintu Lintas Batas Negara (PLBN).
Munculnya kasus rabies di NTT ini sejatinya semakin memperpanjang daftar aksus penyakit anjing gila di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah gigitan rabies di Indonesia sejak tahun 2018 hingga agustus 2022 sebanyak 381,726 kasus.
Artinya, jika diambil rata-rata maka setidaknya terdapat 76.345 kasus gigitan rabies setiap tahunnya. Lalu, jika dirata-ratakan per harinya, maka terdapat 209 kasus gigitan rabies setiap harinya di seluruh Indonesia.
Sebagai Pejabat Otoritas Veteriner di daerah, saya menilai terdapat lima persoalan mendasar yang perlu menjadi catatan dalam pengendalian rabies di Indonesia. Antara lain sebagai berikut.
Pertama, rancunya kewenangan urusan kesehatan hewan (keswan) di Indonesia. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), urusan kesehatan hewan masuk dalam urusan pilihan.
Keswan masuk dalam sub urusan pilihan pertanian. Atau dengan kata lain, urusan kesehatan hewan bukan menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah.
Artinya, Pemda tidak memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan urusan keswan. Sehingga dampaknya, urusan keswan banyak yang tidak dijalankan oleh pemda. Termasuk, tidak adanya tenaga kesehatan hewan di daerah.
Padahal, persoalan penyakit, apalagi ini menyangkut kesehatan masyarakat, kesehatan hewan sejatinya harus menjadi urusan wajib bagi pemda. Bagaimana mungkin akan menyelesaikan persoalan penyakit hewan jika dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewannya saja boleh ada boleh tidak (pilihan).
Di Indonesia Penyakit Infeksi Emerging (PIE) pada manusia, seperti flu burung Clade Baru, Ebola, Hendra Virus, Nipah VIrus, SARS Cov, Monkey Pox, dan lainnya semakin meningkat.