Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebanyak 75% kasus dari penyakit-penyakit tersebut bersifat zoonosis atau penyakit yang disebabkan oleh hewan, maka dari itu sudah semestinya kesehatan hewan ditempatkan pada posisi yang seimbang di tataran pemda.
Kedua, ketersediaan tenaga kesehatan hewan tidak merata. Hal ini terjadi karena imbas dari tidak dijadikannya kesehatan hewan sebagai urusan wajib menurut undang-undang.
Jadi, dampak yang bisa terlihat dengan jelas adalah tidak meratanya keberadaan tenaga kesehatan hewan di daerah. Bahkan, banyak daerah di Indoensia yang tidak memiliki dokter hewan berwenang.
Padahal saat ini hewan bisa dianggap telah menjadi bagian penting kehidupan manusia. Pasalnya, semakin banyak petshop atau toko keperluan hewan yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia.
Artinya, hal ini tentu juga berbanding lurus dengan interaksi kasus penyakit pada hewan yang menular ke manusia juga semakin meningkat.
Ketiga, lambatnya pencairan dana untuk masalah kesehatan hewan. Di beberapa kasus, anggaran kesehatan hewan baru akan dikucurkan setelah ada kasus.
Layaknya pemadam kebakaran, persoalan keswan kerap dinilai hanya akan diperhatikan tatkala ada kasus saja. Seperti kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), kemunculannya kemudian menuntut pemerintah untuk membentuk satgas dan mengucurkan banyak anggaran dalam penanganannya.
Dari sini bisa diartikah bahwa perencanaan penganggaran untuk pencegahan penyakit hewan masih sangat minim.
Ditambah lagi SDM kesehatan hewan dan regulasi pemda yang tidak sebagai urusan wajib, semakin memperparah persoalan. Padahal, upaya pencegahan merupakan hal yang penting. Sebab, mencegah lebih baik daripada mengobati, bukan?
Keempat, belum optimalnya payung hukum (regulasi) yang menyoal hewan dan kesehatan hewan. Meskipun ada, beberapa aturan hukumnya masih menginduk pada aturan hukum yang sudah ada dari lama.
Misalnya, seperti Hondsdolheids Ordonantie, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 451 yo Stbl. 1926 Nomor 452 yang hingga kini masih menjadi pedoman dalam penanggulangan penyakit, khususnya Rabies.
Di samping itu, Indonesia juga masih belum memiliki regulasi yang mengatur tentang Sistem Kesehatan Hewan Nasional.
Selama ini urusan kesehatan hewan dan atau urusan kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggungjawab secara nasional terhadap kesehatan hewan, hanya ditempatkan setara dengan eselon II, di bawah Kementerian Pertanian.
Lebih membingungkan lagi, soal pencegahan dan pengendalian rabies pada anusia dan masyarakat itu menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan.
Sementara pengendalian dan penanggulangan rabies apda hewan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, khususnya subdit eselon II tadi. Tentu kondisi ini sangat tidak berimbang jika ditinjau dari sudut eselonisasi.