Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tanggal 12 Oktober lalu diperingati sebagai World Sight Day. Tema yang diangkat tahun ini, “Love Your Eyes at Work” seakan ingin mengingatkan kita, terutama para pekerja yang kesehariannya berkutat di depan layar komputer/laptop untuk lebih peduli dengan kesehatan mata.
Saya pribadi juga memiliki pengalaman bekerja dengan menatap layar laptop kurang lebih selama 10 tahun merasakan akibatnya. Selain minus mata yang bertambah, saya juta mengalami astigmatisme (silinder) di samping miopi (rabun jauh).
Perlu diakui saya pribadi memang kurang memperhatikan kesehatan mata dan kurang mengistirahatkan mata ketika beraktivitas di depan layar laptop selama berjam-jam.
Akibat yang sering dirasakan, ketika tiba waktu sore dan malam hari, mata menjadi terasa lebih kering, merasa pusing dan sakit di sekitar mata, serta nyeri dan pegal di sekitar leher.
Gejala yang saya alami menurut berbagai referensi itu diakibatkan oleh paparan radiasi sinar biru (blue light exposure) yang terpancar dari perangkat elektronik.
Perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor yang memicu tren gaya hidup digital di masyarakat, yakni ketika segala sesuatunya bisa dikerjakan melalui layar laptop atau smartphone. Puncaknya pada masa pandemi Covid-19 lalu.
Masa pandemi COVID-19 memaksa banyak sektor pekerjaan menerapkan sistem Work from Home (WFH). Sistem ini pun juga diterapkan di sekolah maupun universitas, seluruh proses belajar mengajar menggunakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Aktivitas full remote ini lah yang membuat angka penggunaan gawai, seperti laptop, komputer, tablet, maupun smartphone meningkat. Menurut laporan "State of Mobile 2023" yang dipublikasikan oleh aplikasi data.ai, selama tahun 2022 warganet Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 5.7 jam setiap harinya untuk menggunakan ponsel. Dalam hal ini Indonesia berada di peringkat satu, diikuti Singapura, Brazil, Arab Saudi, dan Korea Selatan. Apakah ini sebuah prestasi atau ironi?
Meski terkesan memberikan kepraktisan dalam menunjang aktivitas, nyatanya tren gaya hidup digital semacam ini pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan mata para penggunanya.
Cahaya/sinar dibagi menjadi beberapa kategor berdasarkan panjang gelombangnya, yakni Sinar Gamma (kurang dari 0,01 nm), Sinar-X (0,01-10nm), Sinar Tampak (380-760nm), dan Sinar Inframerah (760-10.000nm). Gelombang yang memiliki panjang lebih dari 10.000nm merupakan gelombang radio.
Sebagai manusia, mata kita hanya dapat melihat sinar tampak mulai dari sinar ungu (380 nm) hingga sinar merah (760 nm) atau sering dikenal dengan 7 warna pelangi mejikuhibiniu. Sinar biru memiliki pita energi tertinggi dalam Sinar Tampak (380-500nm) dan dibagi menjadi 2 kategori yakni biru-ungu (380-450nm) yang dikenal juga sebagai High Energy Violet (HEV) dan Biru-Pirus (450-500nm).
Kedua sinar biru ini mampu melewati kornea dan lensa mata hingga sampai retina. Pada beberapa penelitian terhadap hewan uji, sinar biru-ungu dapat memicu kerusakan struktur retina. Sementara Sinar Biru-Pirus dapat memengaruhi dan mengganggu level hormon melatonin dalam tubuh.
Hormon melotonin ini berpedan dalam pengaturan ritme sirkadian tubuh, yakni pola alamiah tubuh manusia yang berulang setiap 24 jam, yang memengaruhi suasana hati, energi, dan fungsi tubuh. Singkatnya, tubuh bisa membaca dan bereaksi saat siang atau malam tiba.
Nah sinar biru ini dapat berasal dari matahari maupun dari teknologi LED yang terdapat pada layar televisi, komputer, laptop, tablet, dan smartphone.
Paparan sinar biru dapat berefek negatif pada kesehatan mata, tergantung panjang gelombang, jarak, dan durasi paparan.