Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pasangan pemengaruh (influencer) muda, Issa dan Sangkara, memicu kehebohan di media sosial X (Twitter) dengan pengumuman rencana mereka untuk merilis novel yang menggambarkan kisah cinta mereka.
Meskipun banyak netizen skeptis, Issa dan Sangkara memiliki harapan bahwa kisah cinta mereka dapat menginspirasi yang lain. Namun, rencana ini ternyata bersinggungan dengan krisis ISBN yang tengah melanda dunia literasi Indonesia.
Berawal dari keinginan untuk mengabadikan perjalanan cinta mereka, Issa dan Sangkara memutuskan untuk merilis novel yang menceritakan kisah cinta mereka sejak pertemuan pertama hingga membangun hubungan asmara yang penuh warna.
Sejumlah netizen di media sosial X menganggap bahwa novel ini tidak akan memiliki kualitas dan hanya akan menjadi pemborosan nomor ISBN.
Namun, perencanaan ini juga menyoroti permasalahan serius terkait ketersediaan ISBN di Indonesia. Dalam setahun terakhir, Indonesia menghadapi krisis ISBN yang diawali oleh penggunaan yang tidak wajar oleh penerbit pemula dan penerbit indie.
Isu ISBN menjadi sorotan ketika Badan Internasional ISBN di London memberikan teguran kepada Perpustakaan Nasional (Perpusnas) terkait penggunaan ISBN yang tidak wajar.
Selama periode 2020-2021, jumlah buku yang terbit dengan nomor ISBN mencapai 208.191 judul buku. Padahal, nomor ISBN yang diberikan sejak 2018 hanya mencakup 1 juta nomor dan berlaku selama 10 tahun.
Jumlah ISBN yang terbatas, yakni hanya 377.000 nomor, menjadi persoalan serius mengingat rata-rata terbitan buku mencapai 67.340 judul per tahun hingga 2028.
Setelah diselidiki, ternyata banyak draf buku yang telah mengajukan ISBN tidak jadi diterbitkan dengan berbagai alasan, salah satunya karena gagal mendapatkan pendanaan atau hibah.
Di Indonesia banyak penerbit pemula dan penerbit indie yang kerap melanggar penggunaan ISBN dengan mengganti judul buku dari yang diusulkan di awal. Di samping itu, mereka juga tidak memenuhi kewajiban serah simpan atas buku-buku yang sudah diterbitkan dan hanya mencetak buku dalam jumlah kecil, antara 4-5 eksemplar.
Meski di satu sisi kehadiran penerbit-penerbit indie ini menjadi surga bagi banyak pihak yang membutuhkan publikasi buku sebagai bagian dari kenaikan pangkat atau sekadar menaikkan gengsi, namun di sisi lain adanya praktik tidak wajar tadi menyebabkan beberapa penerbit yang benar-benar memiliki komitmen merasakan dampak negatifnya.
Salah satu penerbit yang merasakan lansung dampak tadi adalah Karyakata Publishing. Mereka mengalami kesulitan karena banyak buku yang diterbitkan hanya untuk kepentingan pribadi, sementara buku berkualitas tidak dapat memperoleh ISBN.
Virya Anisa, pemimpin redaksi Karyakata Publishing, menyuarakan kebutuhan untuk lebih memprioritaskan karya berkualitas daripada mempersempit ISBN. Dia menegaskan, "Mengapa harus diperketat lagi? Agar buku-buku dengan karya berkualitas bisa lebih diprioritaskan."
Sebagai alternatif, beberapa pihak menyarankan penggunaan QR Code Book Number (QRCBN) sebagai pengganti ISBN. QRCBN memiliki fungsi serupa dalam melegitimasi dan mengidentifikasi informasi buku yang telah diterbitkan.
Menurut Direktur Bintang Semesta Media, Bintang W. Putra, masalah ISBN dapat teratasi dengan fokus pada kualitas karya dan bukan pada nomor ISBN.
Pada akhirnya, kualitas suatu karya tetap menjadi fokus utama, apakah dengan ISBN atau tanpanya. Sebuah pengingat bahwa kesuksesan suatu karya tidak hanya terletak pada label ISBN, tetapi pada substansi dan dampak yang dimilikinya.
Seiring dengan itu, penulis dan penerbit perlu menjaga kualitas karya sebagai prioritas utama.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kualitas, Bukan ISBN, yang Menentukan Keberhasilan Buku"