Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Berita penculikan anak kembali terjadi akhir-akhir ini, membuat orangtua merasa cemas. Terlebih dalam beberapa kasus, penculikan anak kerap mengalami tindak kekerasan baik fisik maupun seksual yang membuat korban penculikan rentan mengalami trauma.
Oleh karena itu, untuk mencegah kasus penculikan anak, penting kiranya orang tua memprioritaskan kenyamanan dan keamanan anak ketika hendak bepergian terutama di tempat-tempat ramai yang tidak menutup kemungkinan rawan pencurian dan penculikan.
Menilik indikator motif penculikan melalui usia anak, Praktisi Kepolisian Sri Suari pada salah satu program stasiun televisi menyampaikan bahwa lokalisir modus penculikan bisa terjadi karena umur.
Terdapat tiga pola besar motif penculikan anak, di antaranya (1) kepentingan adopsi ilegal atau dibesarkan sendiri yang menyasar anak usia di bawah 1 tahun, (2) ekonomi atau mencari keuntungan uang melalui tebusan yang menyasar pada anak yang sudah bisa bicara, dan (3) eksploitasi ekonomi misalnya untuk mengemis yang menyasar usia di bawah 10 tahun dan eksploitasi seksual yang biasanya di atas 12 tahun ke atas.
Di samping itu, kasus penculikan dengan motif pedofilia juga mengindikasikan bahwa penculikan menyasar anak usia di bawah umur atau belum mencapai usia pubertas yang umumnya anak-anak di bawah usia 11 tahun.
Ada pula motif penculikan lainnya, seperti motif yang dilatarbelakangi dendam atau persoalan pribadi orang tua yang menjadi pemicu perebutan hak asuh yang melibatkan keluarga. Kemudian, satu lagi motif yang membuat para orang tua bergidik yaitu motif jual-beli organ.
Patut diingat, selain orang tua, peran masyarakat, pihak sekolah, serta pemangku kepentingan menjadi pagar penting menghindari penculikan anak.
Bentuk kepedulian sesama di semua elemen tersebut dapat menciptakan sinergitas yang memperkuat sikap saling asah, asih, dan asuh.
Sikap Saling Asah
Sikap saling asah mengacu pada sikap saling memperbaiki kemampuan dan potensi diri misalnya dalam hal intelektualitas. Orang tua sebagai ruang konfirmasi pertama anak sebaiknya mengevaluasi diri apakah pola asuh dan komunikasi orang tua terhadap anak sudah terjalin optimal atau belum.
Misalnya, orang tua menanyakan apa saja yang dialami anak hari ini, kemudian membiasakan anak untuk meminta persetujuan dan izin kepada orang tua ketika hendak bepergian.
Orang tua juga harus menciptakan komunikasi yang erat antara orang tua dan anak yang bertujuan agar orang tua dapat memantau segala aktivitas anak salah satunya dari cerita anak.
Selain itu, terdapat pengasuhan berbasis komunitas. Dari sini para orang tua dapat menjalin relasi bersama masyarakat bahkan pemangku kepentingan untuk berbagi ilmu, ruang, dan pengalaman.
Pentingnya pengasuhan berbasis komunitas terutama pada keluarga rentan misalnya melalui pembinaan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat, majlis ta'lim, komite sekolah, dan sebagainya.
Dengan demikian diharapkan semua masyarakat terlatih untuk menyampaikan serta melaporkan situasi dan kondisi yang sedang dialami.