Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam beberapa waktu terakhir, jagad pemberitaan di media sosial, media luring, dan daring diramaikan dengan kabar terkait langkah inovatif yang diambil oleh salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB).
Inovasi yang dimaksud adalah ITB memberikan opsi kepada mahasiswanya untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) melalui layanan pinjaman online atau yang lebih populer dengan istilah pinjol.
Pemicunya keramaian soal UKT ini adalah unggahan sebuah akun di media sosial X yang berisikan brosur promosi platform pinjol Danacita sebagai mitra resmi ITB dan menyediakan opsi cicilan pembayaran UKT mulai dari 6 hingga 12 bulan.
Selain itu, informasi yang disampaikan juga mencakup detail biaya yang perlu dipertimbangkan oleh calon peminjam, seperti bunga yang dikenakan.
Sebagai contoh, peminjam yang mengajukan dana sebesar Rp 12,5 juta dengan tenor 12 bulan akan dikenakan biaya cicilan sekitar Rp 1.291.667 tiap bulannya. Di samping itu, juga ada biaya bulanan platform sebesar 1,75% dan biaya persetujuan sebesar 3,00% yang menjadi aspek pertimbangan calon peminjam.
ITB, melalui pernyataan humasnya menjelaskan bahwa kerja sama dengan Danacita terkait opsi pembayaran biaya uang kuliah sudah berlangsung sejak tahun 2023. Menurut humas ITB, mahasiswa diberikan berbagai opsi pembayaran, termasuk melalui transfer bank, akun virtual, kartu kredit, dan pinjaman online Danacita.
Meski begitu, rupanya di Indonesia ada juga perguruan tinggi lain yang melakukan kerja sama serupa dengan platform pinjol Danacita, yakni Universitas Gadjah Mada (UGM). Akan tetapi, pihak UGM menekankan bahwa pinjol hanya menjadi pilihan terakhir bagi mahasiswa dan hanya sebagian kecil mahasiswa yang memanfaatkannya.
Seiring viralnya informasi ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) ikut angkat bicara. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbudristek, Nizam, menekankan pentingnya mencari solusi skema pendanaan perkuliahan yang tidak memberatkan ekonomi mahasiswa.
Nizam berharap agar kampus dapat berperan aktif membantu mahasiswa dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk alumni, program corporate social responsibility dari dunia usaha dan industri, serta dukungan dari dunia perbankan dan keuangan.
Terkait hal itu, sebenarnya menurut Humas UGM, Gusti Grehenson, pembayaran melalui kredit mahasiswa oleh perbankan atau lembaga keuangan non-bank termasuk juga fintech, merupakan opsi terakhir.
Gusti juga mengatakan bahwa solusi kredit untuk mahasiswa sejatinya adalah amanat UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 76.
Dalam pasal 76 ayat 2 huruf C disebutkan bahwa pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dapat berupa pinjaman tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus atau memperoleh pekerjaan.
Dalam konteks ini, pihak UGM melihat keterlibatan pinjol dalam sistem pembayaran uang kuliah sebagai implementasi dari undang-undang tersebut.
Fenomena pembayaran UKT menggunakan metode pinjaman online di beberapa kampus memang untuk saat ini tidak bisa dibilang salah. Sebab, memang negara kita belum memiliki aturan hukum yang melarangnya.
Meski begitu, kita perlu melihat kembali poin yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 pasal 76 ayat 1 yang menyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.