Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Totok Siswantara
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Totok Siswantara adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kompas.com - 24/04/2024, 23:43 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Perihal menjadikan Kurikulum Merdeka yang mengantikan kurikulum 2013 untuk kurikulum nasional 2024 masih jadi pembicaraan banyak pihak.

Paling tidak menimbulkan pertanyaan: apakah kurikulum merdeka bisa efektif dengan kondisi pendidikan nasional saat ini?

Memang untuk Kurikulum Merdeka sendiri sebenanya bukan hal baru, pasalnya sudah dikembangkan dan diujicobakan sejak 2020 silam.Itu terus berlanjut dengan beragam evaluasi bertahap sejak 2021.

Malah saat ini, sejak Maret 2024, mengutip dari laman Kemendikbudristek, sudah lebih dari 300 ribu satuan pendidikan di seluruh Indonesia yang mulai menerapkan Kurikulum Merdeka.

Harapannya, dengan penerapan Kurikulum Merdeka bisa berdampak pada terciptanya generasi adaptif yang mampu bertahan menghadapi perubahan zaman dengan kekuatan mereka sendiri.

Itu yang menjadi keinginan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim untuk mengatasi krisis pembelajaran di Indonesia.

Kemudian lewat PGRI pun menyatakan bahwa implementasi Kurikulum Merdeka bisa memberikan perubahan besar terhadap guru dan siswa.

Apalagi jika mengacu terhadap bagaimana Kurikulum Merdeka ini, proses pembelajaran yang esensial dan minat bakat, proses ini akan menjadi sebuah interaksi yang sesuai dan menciptakan ruang pembelajaran yang lebih positif.

Namun, tidak hanya itu, Kurikulum Merdeka juga telah mengembangkan kompetensi guru lewat platform Merdeka Mengajar. Ada 2 program yang berjalan, Guru Penggerak dan Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Kalau melihat itu semua, maka kita bisa kembali ke pertanyaan awal, apakah Kurikulum Merdeka bisa diterapkan secara efektif dan fleksibel?

Penerapan Kurikulum Merdeka perlu pembelajaran literasi integral yang meliputi literasi etika, literasi informasional, dan literasi fungsional. Di samping itu juga menekankan pentingnya pendekatan dan pemberdayaan ekosistem dalam mewujudkan gerakan literasi.

Salah satu ukuran keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial perlu metode yang lebih pas.

Era Industri 4.0 dan gelombang disrupsi teknologi harus dipahami secara baik oleh generasi muda saat ini. Metode membumikan Pancasila sebagai ideologi negara telah dilakukan beberapa dekade lalu.

Namun, problem sekarang lebih kompleks. Hal ini karena perkembangan teknologi informasi dan media sosial yang sangat lengket dalam kehidupan masyarakat.

Jadi perubahan kurikulum diperlukan untuk memudahkan dan mendorong guru melakukan pembelajaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan belajar murid.

Sebaliknya, Kurikulum Merdeka memberi lebih banyak waktu bagi guru untuk memperhatikan proses belajar murid, menerapkan asesmen formatif, melakukan penyesuaian materi dan kecepatan mengajar, serta menggunakan metode pembelajaran yang lebih mendalam.

Maka struktur yang fleksibel, Kurikulum Merdeka bisa diterjemahkan oleh sekolah yang minim fasilitas di banyak daerah di Indonesia.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kurikulum Merdeka dan Masalah Fleksibilitas Sekolah Terpencil"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Kata Netizen
Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Kata Netizen
Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kata Netizen
Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Kata Netizen
'Selain Donatur Dilarang Mengatur', untuk Siapa Pernyataan Ini?

"Selain Donatur Dilarang Mengatur", untuk Siapa Pernyataan Ini?

Kata Netizen
Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang 'Tidak'?

Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang "Tidak"?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau