Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Memang ada semacam "rantai putus" dari Zaman Pergerakan hingga Zaman Perang Kemerdekaan ketika para pemimpin bangsa adalah "orang-orang buku". Mereka bukan hanya pembaca yang rakus, melainkan juga penulis yang ulung.
Zaman ini juga melahirkan banyak sekali sastrawan dan para penulis yang mumpuni dengan latar belakang bacaan yang mencengangkan.
Namun, pada masa Orde Baru para pejabat "senang sekali" menyebut masyarakat kita tidak gemar membaca atau tidak memiliki budaya membaca buku.
Faktanya memang terjadi degradasi kebiasaan membaca meskipun pada zaman itu situasi dan kondisi bangsa sudah membaik.
Kongres Perbukuan Nasional I pada tahun 1995 yang diselenggarakan Pusat Perbukuan merekam puluhan permasalahan di dalam industri buku, tidak terkecuali masalah minat dan budaya membaca yang rendah.
Sastrawan Taufiq Ismail pernah secara lantang menyatakan telah terjadi tragedi nol buku. Anak-anak sekolah tidak lagi "dipaksa" membaca buku sehingga tidak lagi mengenal karya-karya sastra yang bernilai tinggi.
Ekosistem perbukuan merupakan ekosistem yang unik dan kurang banyak diketahui oleh awam.
Masyarakat Indonesia pernah atau sampai sekarang masih ada yang tidak dapat membedakan antara penerbit dan pencetak (percetakan), bahkan terjadi juga di lembaga pemerintah.
Ekosistem ini melibatkan dua unsur, yaitu unsur eksternal pemasok naskah (penulis, penerjemah, dan penyadur) dan unsur internal penggarap naskah (editor, desainer, ilustrator). Selain itu, ada lagi unsur pencetak (percetakan) dan unsur toko buku.
Iklim perbukuan di Indonesia pada beberapa dekade digambarkan kurang sehat karena rendahnya minat membaca dan minat membeli buku.
Tahun 2000-an digambarkan masyarakat Indonesia lebih senang membeli CD/DVD daripada buku.
Tahun 2010-an hingga kini digambarkan masyarakat lebih senang membeli pulsa dan kuota daripada buku.
Kadar literasi bangsa Indonesia berdasarkan survei CCSU (Central Connecticut State University) tahun 2016 berada pada posisi 60 dari 61 negara. Ini masalah yang tidak pernah ada habisnya dibahas sehingga menimbulkan gerakan literasi.
Karena itu, pemerintah mencoba turun tangan mengatasi persoalan perbukuan dengan menurunkan berbagai kebijakan perbukuan.
DPR menyampaikan inisiatif menyusun regulasi RUU Perbukuan yang disambut oleh Kemdikbud hingga berbuah UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut juga sudah disahkan yakni PP Nomor 75 Tahun 2019.
Lalu, kini sudah dituangkan pula beberapa peraturan Mendikbudristek tentang perbukuan, seperti standar dan kaidah perbukuan serta penilaian buku.
Lembaga yang pernah berdiri, Bekraf, pada masanya juga turut berkontribusi. Di antaranya melahirkan organisasi penulis Satupena dan menginisiasi beberapa pertemuan perbukuan.
Dalam satu sampai dua dekade yang lalu, iklim perbukuan tidak seperti saat ini. Saat ini kita mengenal yang namanya buku elektronik dengan menggunakan platform PDF, ePub, dan lainnya.
Kita juga mengenal teknologi cetak manasuka (print on demand) sehingga mencetak buku perdana tidak harus 3.000 eksemplar, dapat dibuat cetak tiras rendah, 100 eksemplar misalnya. Pendeknya, teknologi telah menawarkan aktivitas penerbitan buku menjadi lebih murah dan lebih cepat.