Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ini yang membuat gejala penerbitan mandiri (self-publishing) semestinya menemukan momentum. Namun, terjadi salah kaprah soal penerbit mandiri ini.
Salah kaprah definisi juga terjadi seperti yang termuat di dalam buku panduan yang disusun oleh Bekraf.
Buku panduan itu menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran makna penerbit mandiri dari sebelumnya penerbit yang didirikan oleh penulis menjadi sebuah usaha jasa.
Entah siapa yang menjadi narasumber Bekraf pada masa itu sehingga muncul kerancuan antara self publisher dan vanity publisher, termasuk juga publishing service. Tidak pernah terjadi pergeseran makna.
Self Publisher atau penerbit mandiri itu bermakna seorang penulis menghasilkan naskah secara mandiri, mengembangkan editorial naskah juga secara mandiri (bekerja sama dan mengontrol editor, desainer, dan ilustrator), serta memasarkannya juga sendiri.
Model ini pernah dilakukan oleh Dewi Dee Lestari melalui Penerbit True Dee ketika awal menerbitkan Supernova.
Konteks editorial dan pemasaran ini juga dapat melibatkan profesional lain. Namun, penerbit mandiri itu benar-benar dimiliki sendiri oleh penulis dengan badan usaha/hukum yang relevan adalah CV atau PT.
Kerancuan berpikir ini yang juga merebak di kalangan penulis. Mereka menyebut telah melakukan penerbitan mandiri.
Akan tetapi faktanya mereka membayar penerbit berbayar (vanity publisher) untuk melakukannya. Mereka tidak memiliki kontrol terhadap penerbitan bukunya sendiri.
Alhasil, penerbitan mandiri sejatinya bukan budaya kita. Para penulis terkecoh dengan istilah yang tidak pada tempatnya.
Jiwa penerbit mandiri sejati adalah entrepreneurship. Seorang penulis yang ingin menjadi penerbit mandiri haruslah seorang authorpreneur atau writerpreneur.
Ia harus siap berbisnis dan juga siap menanggung risiko bisnis. Karena itu, uang yang dimilikinya menjadi modal yang akan diputarkan dalam bisnis yang tidak terlalu populer di Indonesia, bisnis buku!
Satu hal lagi, penulis sebagai penerbit mandiri harus mengenali seluk-beluk organisasi penerbit. Ia perlu memiliki pengetahuan multidimensi, seperti produksi, keuangan, dan pemasaran. Tidak cukup hanya bermodal mampu menulis.
Ia juga harus memiliki intuisi yang tajam terhadap naskah yang ditulisnya bahwa akan ada pembaca buku yang jumlahnya signifikan.
Itu sebabnya jika penulis masih bermental menitipkan uangnya untuk dikelola oleh orang lain seperti vanity publisher, ia bukanlah penerbit mandiri. Ia sama sekali tidak punya kontrol terhadap bukunya.
Soal ini sudah menggejala di mana-mana yang juga menumbuhkan bisnis jasa penerbitan berbayar, bahkan didirikan oleh orang yang sama sekali tidak mengerti penerbitan buku.
Harga penerbitan berbayar yang murah meriah sering kali menjadi penarik para penulis untuk menitipkan bukunya di sana.
Menerbitkan buku sendiri memang bukan budaya kita. Budaya kita mungkin adalah bagian dari kelirumologi. Salam insaf!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.