Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pembabatan area pohon alami untuk kawasan pohon jati menjadikan tidak ada akar yang mengikat dan menampung air di bawah bebatuan kapur.
Bahkan, beberapa mata air utama yang terletak beberapa kilometer dari Maelang sudah tidak mengeluarkan air lagi. Akibatnya, sungai alam pun mengering dan air yang mengalir ke Maelang hanya berasal dari beberapa mata air kecil terdekat. Sehingga berdampak pada kelangkaan ikan, udang sungai, dan kura-kura.
Minggu (30/10), saya bersama kawan-kawan dari LMDH Mitra Usaha dan Garempung (Gerakan Remaja Pinggir Gunung) Dusun Sebanen menyusuri kawasan Air Terjun Maelang.
Saat itu, terlihat dengan jelas bahwa volume air yang mengalir memang semakin kecil.
Penyebab utamanya adalah penanaman pohon jati. Kawasan di sekitar Air Terjun Maelang dulunya adalah hutan alam dengan bermacam pohon endemik yang mampu menyimpan air dan mengeluarkannya dalam bentuk sumber air dengan debet yang cukup besar.
Sayangnya, untuk menyiapkan lahan jati, pepohonan endemik dibabat. Akibat pohon endemik berkurang drastis, mata air semakin mengecil dan hanya terletak di dekat air terjun. Sementara, mata air besar yang terletak beberapa kilometer di atas air terjun sudah lama mati alias tidak mengeluarkan air. Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan karena keberadaan air di kawasan ini sangat penting untuk keberlanjutan ekosistem.
Mau tidak mau, untuk 'menghidupkan kembali' mata air yang sudah lama mati dibutuhkan konservasi pohon-pohon endemik di kawasan air terjun. Artinya, konservasi berupa penanaman kembali pohon endemik tidak hanya di pinggir air terjun atau sungai, tetapi di kawasan yang terletak di atas atau di samping air terjun.
Konservasi bisa dimulai dengan melakukan pembibitan pohon langka seperti awar-awar, elo gondang, beringin, kepuh, dan yang lain. Untungnya, pohon-pohon tersebut masih bisa kita jumpai di kawasan Maelang.
Para anggota LMDH dan Garempung serta warga Sebanen yang ingin melakukan konservasi bisa mengambil biji atau bibit yang tumbuh di hutan.
Namun demikian, mereka perlu meyakinkan Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan jati, agar mau melepaskan lahan di sekitar Maelang untuk ditanami pohon-pohon endemik. Bagaimanapun juga, Perhutani juga perlu membuat kebijakan konservasi untuk kawasan tertentu yang cukup penting bagi ekosistem.
Keinginan LMDH dan Garempung untuk mengelola kawasan Maelang sebagai destinasi wisata minat khusus bisa menjadi alasan kuat untuk bernegosiasi dengan pihak Perhutani. Dengan wisata minat khusus, kondisi ekosistem hutan masih bisa terjaga dan warga Sebanen pun bisa mendapatkan manfaat ekonomi.
Para pengunjung, misalnya, bisa diajak menjelajah kawasan hutan jati sebelum menuju air terjun Maelang. Sesampai di Maelang, para pengunjung juga bisa diajak untuk menyusuri sumber air yang menjadi penopang utama air terjun agar mereka mengetahui bagaimana mata air itu keluar dari bebatuan kapur.
Setelah itu, para pengunjung bisa diajak mengamati pepohonan endemik sembari dijelaskan bagaimana kontribusinya terhadap keberlanjutan sumber air. Ketika sudah memahami, maka mengajak mereka menanam bibit tanaman endemik jadi jauh lebih mudah.
Para pengunjung bisa melakukan "adopsi pohon." Artinya, mereka bisa menjadi "orang tua angkat" atau "saudara angkat" dari pepohonan yang mereka tanam. Suatu saat, mereka diharapkan bisa kembali untuk menengok pertumbuhan pohon yang mereka tanam.
Paradigma kemitraan antara Perhutani dengan warga pinggir hutan, setidaknya bisa memberikan manfaat lebih. Masyarakat bisa terlibat pengelolaan destinasi wisata, sedangkan Perhutani diuntungkan karena para warga akan ikut menjaga kelestarian dan keamanan kawasan. Relasi mutualis seperti itulah yang perlu terus dikedepankan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.