Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alex Japalatu
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Alex Japalatu adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Mengunjungi Situs Gua Rambe Manu, Saksi Perang Kodi 1911-1913

Kompas.com - 18/11/2022, 11:06 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Situs Perang Kodi 1911-1913: Gua Rambe Manu"

Pada saat bergulirnya perang antara Kodi melawan Belanda di Pulau Sumba, NTT, tahun 1911-1913, pemimpin Laskar Kodi, Wona Kaka dan pasukannya sering sekali berpindah-pindah tempat.

Hal ini bertujuan untuk mengecoh tentara Belanda yang saat itu telah menguasai kampung-kampung utama di Sumba.

Selain menguasai kampung utama, tentara Belanda pada tahun 1912 juga menguasai salah satu benteng pasukan Kodi, yaitu Kawango Wulla yang berada di barat Kodi.

Setelah benteng tersebut dikuasai Belanda, Wona Kaka memanfaatkan “benteng alam” berupa gua batu yang letaknya tersembunyi di tengah hutan sebagai tempat persembunyian.

Selain sebagai tempat persembunyian, di gua itu pula para pasukan Kodi menyusun kekuatan untuk melancarkan serangan balasan kepada tentara Belanda atau bahkan menantang mereka untuk perang terbuka.

Riwayat Perang Kodi

Kodi merupakan wilayah yang berada di paling barat Pulau Sumba dan didiami oleh suku Kodi. Kini wilayah Kodi telah menjadi bagian dari Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).

Di Kabupaten SBD ini meliputi beberapa kawasan yang didalamnya didiami oleh suku Loura di bagian utara dan suku Wewewa di bagian tengah. Suku Wewewa kini juga biasa disebut Wejewa atau Waijewa.

Dalam pertempuran Kawango Wulla, yang terjadi di dalam hutan dengan ratusan batu cadas besar yang menjadi pagar, seorang bangsawan dari Parona (kampung besar) Bondokodi, yaitu Pati Manakaho tewas diterjang peluru Belanda.

Selain tewasnya Pati Manakaho, beberapa pasukan Kodi juga gugur dalam pertempuran itu, seperti Mali Gheda, Mali Mbata, Ikit Rendi, Kanda Yingo, dan Wonda Bokol. Sementara beberapa lainnya seperti Mete Langga dan Rangga Kaleka diketahui mengalami luka berat.

Tewasnya enam pasukan Kodi itu lantas membuat Wona Kaka sangat sedih, lantaran mereka telah berjuang dan bertempur bersama sejak awal meletusnya Perang Kodi.

Merasa situasi di benteng Kawango Wulla tak lagi aman, Wona Kaka dan pasukan Kodi yang tersisa memutuskan untuk melarikan diri ke sebuah lembah di perbatasan Kodi dan Waimangura yang disebut hutan Binya Pahha.

Wilayah itu masuk ke dalam Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya saat ini.

Selain jaraknya yang jauh dari Kawango Wulla, letak Binya Pahha juga cukup strategis untuk memperoleh pasokan makanan dari kawasan yang didiami suku Wewewa.

Adalah Eda Popo, Ndoka Padu dan Letu Atu dari Kalembu Weri yang secara sembunyi-sembunyi menyelundupkan bahan makanan dan pakaian.

Ketika bersembunyi di hutan Binya Pahha inilah istri Wona Kaka, Warat Wona melahirkan seorang putri yang diberi nama Pati Ice Pede.

Secara harfiah nama tersebut berarti Pati yang sangat menderita, menggambarkan bagaimana pasukan Wona Kaka yang tinggal sekitar enam bulan di sana.

Sedikit kilas balik, ketika saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP di Homba Karipit, Kodi tahun 1986, saya pernah berpapasan dengan Pati Ice Pede yang berkunjung ke SMP tempat saya sekolah.

Kala itu, kepala sekolah yang menjabat adalah Greg Gheda Kaka. Beliau adalah orang pertama yang mendokumentasikan tentang Perang Kodi dengan mewawancarai Pati Ice Pede yang tinggal di Wailabubur, sebuah kampung yang berjarak sekitar 2 Km dari sekolah sebelum Pati Ice Pede meninggal pada tahun 1989.

--

Akan tetapi, sayangnya hutan Binya Pahha tempat persembunyian Pasukan Kodi mudah diterobos. Letaknya yang berada di dasar lembah sangat riskan, jika tentara Belanda menyerang, tak akan ada jalan untuk melarikan diri bagi Pasukan Kodi.

Maka dari itu, Wona Kaka sebagai pemimpin pasukan dan Dita Ngedo pergi untuk mencari tempat persembunyian sekaligus benteng pertahanan yang lebih baik dan lebih kokoh.

Setelah mencari dengan berjalan kaki beberapa hari, mereka menemukan sebuah bukit berbatu yang memiliki gua di dalamnya. Bukit berbatu ini dikelilingi hutan lebat, hanya ada satu pintu untuk keluar dan masuk.

Gua itu bernama Rambe Manu. Kini kawasan gua tersebut masuk ke dalam wilayah Desa Mangganipi, Kecamatan Kodi Utara, SBD. Gua Rambe Manu ini juga sudah ditetapkan sebagai situs sejarah.

Bagian depan gua Rambe Manu.Alex Japalatu Bagian depan gua Rambe Manu.
Oleh Wona Kaka Gua Rambe Manu ini disulap menjadi sebuah benteng pertahanan. Medannya yang curam dinilai sangat pas untuk menghadang serangan musuh.

Batu-batu dengan ukuran sebesar kerbau menjadi senjata andalan Pasukan Wona Kaka, begitu pula dengan potongan-potongan kayu sepelukan orang dewasa yang digantung dengan tali di depan pintu gua.

Jadi jika ada musuh yang mulai mendaki dan mendekat ke arah mulut gua, senjata-senjata yang telah disiapkan tadi hanya tinggal didorong saja, kemudian batu dan kayu akan segera menimpa siapa saja yang berada di bawahnya.

Setelah merampungkan segala persiapan, Wona Kaka mengirim Pati Karaka menuju Rada Kapal yang berada di sekitar muara Pero di Bondo Kodi.

Rada Kapal merupakan tempat tentara Belanda membangun tangsi atau barak. Tempat itu dipilih karena tepat di belakangnya adalah pantai yang langsung terhubung dengan Lautan Hindia.

Diutusnya Pati Karaka adalah untuk menantang tentara Belanda yang berada di Rada Kapal. Akan tetapi karena Pati Karaka tak dapat berbasah Melayu, ia meminta bantuan Rato Ndima Kodi, seorang pedagang keturunan mantan tentara Majapahit.

Namun, Rato Ndima Kodi hanya berani mengantar Pati Karaka ke dekat tangsi Belanda. Maka dari itu, dari luar tangsi Pati karaka berteriak menantang, “Wona Kaka siap bertempur di Rambe Manu!"

Tak sedikit tentara Belanda yang menertawakannya. Namun, Letnan Brendsen, komandan tentara Belanda menanggapi teriakan Pati Karaka dengan serius.

Letnan Brendsen menerima tantangan itu dan keesokan harinya ia beserta tentara Belanda lain pergi menuju Rambe Manu.

Karena jarak yang jauh, sekitar 20 Km, mereka membutuhkan waktu setengah hari perjalanan.

Rombongan tentara Belanda yang sudah tiba di Labba Paddu, sekitar 3 Km dari Rambe Manu, tak mengetahui bahwa pasukan Wona Kaka telah melakukan segala persiapannya dengan utuh.

Perintah Wona Kaka jelas, begitu tentara Belanda mendaki, dia akan menembak sebagai aba-aba menyerang. Pasukan yang lain bertugas memotong tali pengikat kayu, yang lainnya bertugas mendorong batu agar meluncur ke bawah.

Setibanyak di Rambe Manu dan tanpa persiapan yang matang, tentara Belanda tak mengira akan diserang dengan batu dan kayu. Akibatnya, sekitar 20 tentara Belanda tewas seketika.

Michael Mahemba (65), seorang peneliti sejarah Wona Kaka mengatakan bahwa tempat pertempuran itu menguntungkan bagi pasukan Wona Kaka, apalagi pada waktu itu sedang musim hujan.

“Medannya menguntungkan bagi Wona Kaka. Tanah jadi becek sehingga kayu dan batu mudah meluncur," kata Michael.

Saya menemui Michael di Bondo Kodi, di kediaman Daniel Mahemba, mantan Kepala Desa Bondo Kodi. Michael dan Daniel adik-kakak kandung. Rumah mereka berdampingan.

Ayah mereka, Lota Mahemba (alm), memiliki hubungan darah dengan Wona Kaka. Sama-sama dari Parona Bongu, kampung besar milik klan. Kepada saya Michael menunjukkan "pohon" keluarga Wona Kaka.

Kekalahan dari pasukan Wona Kaka membuat Letnan Brendsen panas. Ia kemudian mengerahkan prajurit sewaan dan juga orang-orang tahanan untuk memblokade pasukan Wona Kaka.

Dengan keadaan terdesak, Wona Kaka berharap alam masih berpihak kepada mereka. Suatu hari saat hujan turun begitu lebat dan di tengah kegelapan malam, pasukan Wona Kaka mulai bergerak meninggalkan gua.

Menurut kesaksian Dita Ngedo, saat itu hanya ada satu tentara Belanda yang berjaga yang sedang mengantuk kedinginan.

Dengan keuntungan itu, pasukan Wona Kaka berhasil melarikan diri ke arah Waikelo yang terdapat banyak penduduk untuk mendapat pasokan makanan.

Gua Rambe Manu, Situs Bersejarah Perang Kodi

Elisabeth Deta Dengi, juru pelihara situs Gua Rambe Manu masih memiliki pertalian darah dengan saya. Inya Tamo, ibundanya adalah saudara sepupu saya, dari kakek yang sama: Goka Lando. Lisa anak pertama Inya Tamo.

Penulis (kanan) bersama jurupelihara Gua Rambu Manu, Elisabet (tengah) dan Bapa Nita (kiri)Alex Japalatu Penulis (kanan) bersama jurupelihara Gua Rambu Manu, Elisabet (tengah) dan Bapa Nita (kiri)
Begitu tahu kami akan berkunjung ke Gua Rambe Manu, Wily Guna Hari, seorang guru, adik Lisa juga ingin ikut. "Untuk mengenang masa kecil," kata Wily kepada saya.

Sebab Gua Rambe Manu bagi Lisa dan Wily sudah mengalir dalam darah. Ayahanda mereka, Daniel Ndara Kaka, adalah juru pelihara situs ini, sebelum pemerintah Kabupaten Sumba Barat (ketika itu) memintanya mencari pengganti.

Lisa mau menggantikan tugas ayahandanya dan diangkat sebagai pegawai honorer. Sementara Daniel kini dalam masa persiapan pensiun. Tahun 2023 masa baktinya akan selesai.

Demikianlah, kami tiba di Kampung Kabappa, di mana situs ini masuk ke wilayahnya. Di sana ada empat rumah. Semua warganya masih memiliki pertalian darah dengan Daniel Ndara Kaka. Ah, betapa kecilnya dunia!

Ketika tiba dan melihat langsung situs gua Rambe Manu, peninggalan bale-bale yang dijadikan tempat tidur Wona Kaka dulu.

Menurut Michael yang ditemui di tempat berbeda menceritakan bagaimana kondisi ketika pertama kali ia datang ke gua Rambe Manu.

"Waktu kami masuk pertama ke Rambe Manu sekitar akhir tahun 1995, kami masih temukan tulang dan tengkorak hewan berserakan di lantai gua. Bale-bale dari kayu tempat tidur Wona Kaka juga masih ada," kata Michael.

Menurutnya, tulang-tulang hewan tersebut adalah ternak milik warga yang diberikan kepada Wona Kaka atau justru dirampas.

Susunan kayu yang digunakan sebagai bale untuk istirahan Wona Kaka dan pasukannya.Alex Japalatu Susunan kayu yang digunakan sebagai bale untuk istirahan Wona Kaka dan pasukannya.
Jumat, 2 Juli 2021 ketika kami naik ke Rambe Manu, bale-bale tempat tidur Wona Kaka masih ada di sana. Sebanyak 12 batang kayu seukuran pergelangan tangan orang dewasa, masing-masing satu meter panjangnya, disusun berderet-deret. Tampak lapuk dimakan usia.

Saya memotret, tapi tak berani duduk di atasnya.

***

Sumber:

Buku Wona Kaka, Perang Melawan Belanda di Kodi 1911-1913

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Kata Netizen
Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Kata Netizen
Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Kata Netizen
Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Kata Netizen
Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Kata Netizen
Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kata Netizen
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com