Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Seperti yang dikatakan Blatter, saat Qatar ditentukan sebagai negara tuan rumah Piala dunia tahun 2010 lalu, Qatar tidak memiliki sejarah tentang sepak bola. Bahkan saat itu, Qatar baru mulai membangun tim nasionalnya berbarengan dengan membangun negara. Dari nol.
Qatar sadar bahwa sejatinya mereka tak hanya harus membangun segala sarana dan prasarana pendukung Piala Dunia seperti hotel, stadion, jalan raya, sistem kereta metro, melainkan juga harus membangun sebuah tim nasional sepak bola yang kompeten, yang diharapkan tak akan tampil memalukan di ajang sepenting Piala Dunia.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya Qatar membangun sebuah tim sepak bola yang baik dari jumlah penduduknya yang hanya 3 juta jiwa. Dari jumlah itu, berapa orang yang kompeten untuk dipilih memperkuat timnas Qatar?
Sebagai perbandingan, di Indonesia saja dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa, masih merasa kesulitan untuk mencari pemain sepak bola yang kompeten dan mumpuni untuk bisa diajak membela timnas.
Bahkan tak jarang Indonesia masih harus mencari pemain keturunan Indonesia yang berlaga di luar negeri untuk selanjutnya dinaturalisasi.
Akibat situasi itu, Qatar kemudian menempuh jalan pintas: melakukan naturalisasi pemain.
Qatar sudah melakukan proses naturalisasi secara agresif dengan menawarkan status kewarganegaraan bagi pemain-pemain sepak bola berbakat bahkan sebelum mereka mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Piala Dunia.
Dari usaha itu, pada tahun 2004 Qatar mencoba menaturalisasi tiga pesepak bola Brasil hanya dalam waktu satu pekan. Para pemain itu antara lain adalah Ailton, Dede, dan Leandro.
FIFA yang mengetahui hal itu geram hingga kemudian mengubah regulasi soal ketentuan naturalisasi. FIFA menambahkan di statuta bahwa pemain yang bisa menjadi warga sebuah negara adalah mereka yang sudah tinggal di negara selama 10 tahun.
Alhasil rencana naturalisasi Qatar gagal. Meski begitu, keluarga kerajaan tak tinggal diam, mereka kemudian menempuh jalan lain yang lebih rumit dengan membuat proyek dengan nama Aspire Academy.
Di akademi itulah semua atlet-atlet dilatih dengan bantuan teknologi serta berbagai sumber daya terbaik yang bisa mereka beli dengan uang yang mereka miliki.
Salah satu cabang olahraga yang terdapat dari program akademi itu tentu adalah sepak bola, Aspire Football Dreams. Akademi ini difokuskan untuk menemukan bakat-bakat sepak bola tersembunyi dari semua kota dan desa di seluruh dunia.
Program tersebut pertama kali dimulai tahun 2005 dengan beberapa kamp tempat pelatihan di Afrika. Kemudian, program itu melebarkan sayap hingga ke Amerika Latin dan Asia Tenggara.
Sebenarnya, Aspire Football Dreams juga menggunakan cara naturalisasi, namun dengan diselimuti “beasiswa” bagi para pemain untuk belajar di Qatar. Tujuannya tak lain agar bisa menghindari aturan 10 tahun residensi dari FIFA.
Tak disangka, segala usaha tersebut terbayar ketika Qatar sukses menjadi juara Piala Asia untuk pertama kalinya tahun 2019. Selain itu, Qatar juga dikabarkan menyewa sebanyak 600 ribu suporter untuk menyemangati tim nasional mereka.