Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tahun 2022, moda transportasi massal KRL CommuterLine mulai merangkak dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19 di dua tahun sebelumnya. Tarif KRL yang cukup murah menjadi pilihan banyak masyarakat pekerja.
Hasilnya, di tahun 2022 terjadi tren peningkatan jumlah penumpang seiring dengan melonggarnya aturan pembatasan akibat pandemi.
Moda transportasi massal KRL CommuterLine mulai merangkak di tahun 2022 dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19.
Di tahun 2022 ini terjadi tren peningkatan jumlah penumpang seiring dengan melonggarnya aturan pembatasan akibat pandemi.
Pada bulan-bulan awal tahun 2022, di sejumlah stasiun terlihat antrean panjang penumpang. Hal ini disebabkan masih adanya pembatasan jumlah penumpang sebanyak 45-60%.
Tempat duduk pun diberi jarak dengan tanda silang yang dimaksudkan agar tetap adanya physical distancing antar penumpang di dalam KRL.
Meski begitu, pada kenyataannya terutama di jam-jam padat atau rush hour seluruh gerbong KRL selalu dipadati penumpang.
Pembatasan jarak antar penumpang di tempat duduk pun baru mulai hilang sekitar bulan Maret 2022. Sejak itu kepadatan penumpang KRL kian bertambah.
Kepadatan penumpang ini seperti diperparah dengan diberlakukannya aturan Switch Over ke-5 (SO5) di Stasiun Manggarai pada 28 Mei 2022.
Aturan SO5 ini relasi KRL Bogor ke Muara Angke via Sudirman dan Tanah Abang dihilangkan dan digantikan oleh relasi KRL dari Bekasi/Cikarang.
Imbasnya, relasi Bogor dengan penumpang yang begitu banyak harus rela bersusah payah transit di Stasiun Manggarai jika ingin menuju Tanah Abang.
Permasalahan soal SO5 yang berkaitan dengan pembangunan insfrastruktur Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral terkesan terburu-buru dan tidak dipikirkan dan didesain dengan matang.
Ditambah lagi masalah jarak celah antar lantai peron dengan kereta yang tidak seragam dan terlalu lebar. Akibatnya, sudah beberapa kali penumpang yang menjadi korban akibat kakinya terjatuh ke celah-celah lantai peron dengan kereta di Stasiun Manggarai.
Belum lagi fasilitas seperti eskalator dan lift yang kerap mati. Bahkan ketika saya transit di Stasiun Manggarai sehari setelah Presiden Jokowi meresmikan pembangunan Stasiun Manggarai Tahap I, saya menemukan masalah eskalator mati ini.
Apakah masalah berhenti di situ? Ternyata tidak. Ketika cuaca sedang hujan di beberapa titik terjadi kebocoran sehingga membuat lantai peron basah dan licin.
Di luar masalah tak matangnya fasilitas Stasiun Manggarai, penumpang justru malah mendapat kabar yang kurang mengenakkan.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan melempar wacana penyesuaian sistem tarif pembayaran KRL CommuterLine berdasarkan label kaya dan miskin. Alasannya agar subsidi bisa lebih tepat sasaran.
Jadi, penumpang yang dinilai kaya dan tak layak menerima tarif KRL non-subsidi akan dikenai tarif lebih besar dibandingkan penumpang golongan miskin.
Perlu diketahui, saat ini besaran tarif perjalanan KRL Commuter Line di Jabodetabek sebesar Rp3.000 untuk 25 km pertama dan ditambahkan Rp1.000 untuk setiap 10 km berikutnya.
Andai wacana sistem tarif baru jadi dilaksanakan pada 2023, maka penumpang KRL bakal dilabeli sebagai penumpang "kaya" atau "miskin".
Padahal nyatanya, masyarakat kelas menengahlah yang menjadi pengguna KRL Commuter Line terbesar. Mayoritas dari mereka adalah pekerja yang berasal dari pinggiran ibu kota yang tak mampu membeli rumah di Jakarta.
Mereka ini adalah golongan-golongan pekerja yang jelas bukan termasuk ke dalam kategori “penumpang berdasi” seperti apa yang disebut Budi Karya selaku Menhub yang layak dikenai tarif KRL non-subsidi.
Dari kacamata orang yang rutin menggunakan KRL sebagai transportasi utama, wacana ini sangat memberatkan banyak orang.
Jika aturan itu terkait harga gas elpiji atau tarif listrik, monggo saja dibedakan antara subsidi atau tidak karena memang terlihat jelas pembedaannya. Demikian pula BBM, wajar saja ketika punya kendaraan bagus dan mahal maka tidaklah layak memakan subsidi.
Akan tetapi akan berbeda ceritanya jika aturan tersebut diterapkan pada transportasi umum seperti KRL. Penggolongan penumpang kaya dan miskin inilah yang justru menimbulkan polemik.
Sifat KRL yang komunal dipandang tidak pas jika diterapkan pembedaan tarif berdasarkan kemampuan ekonomi.
Padahal, jika sudah berada di dalam gerbong akan sama berdesak-desakannya, dorong-dorongan, dan sama-sama menanggung risiko kehilangan barang bawaan karena ada kemungkinan copet yang telah mengintai.
Kalangan menengah pantas resah mengingat mereka bakal mendapat predikat "kaya" secara mendadak walau kenyataannya taraf hidupnya sama sekali tak sebanding seorang Raffi Ahmad.
Apa yang mesti dilakukan oleh para pemangku kebijakan ini adalah jangan berpikir secara sektoral saja.
Subsidi pada transportasi massal seperti KRL CommuterLine harus dipandang dari kaca mata yang lebih lebar.
Golongan orang kaya yang memiliki kendaraan roda empat yang kerap membuat macet jalanan ibu kota lantas memilih untuk beralih menggunakan transportasi umum sejatinya adalah pahlawan subsidi dan pahlawan anggaran negara.
Selain turut mengurangi angka kemacetan di jalan, mereka juga turut berjasa karena tidak lagi menyumbang polusi udara dan tidak ikut menikmati subsidi BBM.
Jadi seharusnya sudah tepat jika KRL CommuterLine disubsidi tanpa pandang penumpangnya kaya atau miskin.
Justru negara harus berterima kasih kepada masyarakat yang rela menggunakan transportasi massal ketimbang menggunakan kendaraan pribadi dan berkontribusi terhadap tingkat kepadatan dan kemacetan di jalanan.
Tahun 2022 menyisakan akhir menggantung bagi pengguna KRL CommuterLine. Jika diibaratkan drama, akhir tahun 2022 masih menyisakan kata "bersambung" dengan episode berisi kejutan-kejutan yang akan terjadi di tahun 2023 ini.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Catatan Tahun 2022 KRL Commuter Line dan Potensi Kian Tergencetnya Kelas Menengah di 2023"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.