Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kecerdasan buatan atau yang disebut dengan Artificial Intelligence (AI) saat ini sudah banyak diterapkan dalam kehidupan manusia, bahkan penggunaan Artificial Intelligence (AI) telah merambah ke dalam dunia jurnalistik.
Seperti di tahun 2014, kantor berita Associated Press menggunakan artificial intelligence (AI) untuk merilis laporan keuangan.
Kemudian dua tahun berselang, di tahun 2016, Washington Post menggunakan teknologi heliograf untuk memproduksi berbagai laporan singkat dalam event Olimpiade Brasil.
Dengan menggunakan metode Natural Language Processing (NLP) yang tepat, maka chatbot mampu untuk menulis sebuah berita yang utuh, layaknya pekerjaan seorang wartawan.
Di jagad media sosial, kerap ditemukan akun bot yang bisa diprogram untuk memberi tanggapan atau komentar terhadap unggahan di media sosial. Dan dengan perkembangan media sosial ditambah besarnya jumlah pengguna media sosial di Indonesia, maka algoritma dalam penyampaian berita kepada masyarakat khususnya di media sosial menjadi sesuatu yang tak bisa terbendung lagi.
Apakah Kecerdasan Buatan dan Algoritma Media Sosial Berpotensi Menggantikan Wartawan?
Sekadar informasi, algoritma media sosial yakni sebuah sistematis pengguna dengan cara mencari apa konten (tulisan, foto, atau video) yang dicari pengguna, yang disukai pengguna, yang sering dilihat pengguna, yang diikuti pengguna sehingga menampilkan konten-konten yang sesuai dengan interest pengguna tersebut, sehingga acap kali smartphone dikatakan merekam percakapan pengguna.
Dalam hal ini, algoritma pemberitaan akan memilah, memilih, dan menyaring informasi yang akan disampaikan kepada seorang pengguna media sosial. Secara kasat mata memang media sosial menjadi sarana utama untuk mencari berita dalam beberapa waktu terakhir.
Pada puncak perayaan Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2023, Presiden Joko Widodo menyoroti penyebaran informasi yang dikendalikan oleh “media tanpa redaksi”.
Menurutnya, keberadaan algoritma raksasa digital berpotensi mengancam jurnalisme yang bertanggung jawab, sehingga media konvensional yang memiliki redaksi dalam mengabarkan berita justru makin terpinggirkan.
Tapi memang begitulah kenyataannya. Perkembangan media sosial menjadikan penggunanya semakin mudah mengakses informasi tanpa harus membaca media konvensional terlebih dahulu. Apalagi di masa pandemi, kegiatan bermedia sosial menjadi antitesis dari kegiatan sosial seiring diperlakukannya pembatasan sosial.
Namun, benarkah perkembangan teknologi yang "diwakili" oleh kecerdasan buatan dan algoritma media sosial dapat mengancam keberadaan wartawan dan eksistensi media konvensional yang menaungi wartawan tersebut?
Kalau melihat kondisi sekarang, rasa-rasanya media konvensional masih belum sampai tahap benar-benar terpinggirkan.
Sepengamatan saya, justru media konvensional mencoba beradaptasi dengan perkembangan teknologi termasuk perkembangan media sosial. Karena kita semua tentu sepakat, kian berkembangnya teknologi dan media sosial adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin terhindarkan.
Media sosial juga kini banyak menjadi rujukan bagi media konvensional dalam membuat konten pemberitaan maupun perbincangan. Bahkan sekarang ada fenomena manusia penghasil konten di media sosial malah dimanfaatkan oleh media konvensional untuk menaikkan jumlah pembaca, yang akan ditransmisikan dalam bentuk pundi-pundi bagi media konvensional yang bersangkutan.
Contohnya, Fajar Sadboy yang setelah terkenal akibat curhatnya di media sosial diundang ke berbagai acara dialog di media konvensional televisi, dan dijadikan bahan berita oleh media cetak maupun daring.
Sebelum Fajar Sadboy, ada Intan Sriastuti yang viral juga karena curhatnya di media sosial memplesetkan lagu "Cukup Dikenang Saja".
Setidaknya sampai sebuah jurnalisme mesin bisa merencanakan peliputan, menggali dan mengumpulkan data secara komprehensif untuk pemberitaan, mewawancara narasumber untuk menguatkan data, menulis hasil pengumpulan data dan hasil wawancara dengan menggunakan sentuhan seni, dengan hasil akhir sebuah berita yang memiliki logika.
Bisakah robot algoritma tanpa redaksi berita melakukan itu? Kalau iya, maka itulah saat yang disebut senjakala jurnalis manusia.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kecerdasan Buatan dan Algoritma Akan Menggantikan Wartawan?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.