Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pertama, pinjaman dari koperasi semestinya digunakan untuk semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan dan memberdayakan anggota.
Mencairkan pinjaman tanpa analisis kredit yang matang hanya agar pinjaman bisa berputar dengan cepat pada akhirnya bukan membantu, tapi malah menyusahkan anggota.
Kedua, memberi pinjaman dengan fokus pada penagihan dan penyitaan agunan bukanlah model bisnis koperasi.
Jika solusi seperti itu yang ditawarkan, maka tak perlu koperasi yang melakukannya. Sebab, sudah banyak lembaga pembiayaan selain koperasi di luar sana yang melakukannya.
Lagipula mengandalkan jaminan-jaminan untuk mitigasi risiko pinjaman tidak selalu berakhir mudah. Tetap ada sumber daya yang dihabiskan yaitu waktu dan biaya jika harus berurusan hukum dengan melakukan penyitaan jaminan-jaminan tersebut.
Ketiga, memberi pinjaman kepada pihak ketiga apalagi untuk pendanaan besar seperti projek dan lain-lain, juga tidak sejalan dengan prinsip pelayanan kepada anggota.
Ditambah lagi pinjaman semestinya terdistribusi dengan baik dan merata kepada seluruh anggotanya. Dengan begitu, risiko kreditnya juga lebih terdistribusi.
Apabila pinjaman hanya terdistribusi kepada segelintir orang saja, maka risiko kreditnya juga akan tertumpu pada segelintir orang tersebut.
Dari segelintir orang ini, jika ada yang menunggak membayar pinjaman, maka likuiditas koperasi tentu bisa terganggu. Pada akhirnya anggota koperasi lainlah yang akan dirugikan.
Dengan menyeimbangkan rasio sumber dan penggunaan dana dengan menjaga agar uang masuk tidak kebablasan akan membantu koperasi meminimalkan risiko pencucian uang.
Idle money dijaga seminimal mungkin dengan cara mengatur pinjaman agar terdistribusi dengan baik kepada anggota-anggotanya.
Terkait hal ini, sebenarnya sejumlah koperasi telah membuat beberapa program stimulus kepada anggota-anggotanya.
Beberapa program stimulus itu di antaranya seperti pelatihan-pelatihan wirausaha agar anggota koperasi terdorong memanfaatkan pinjaman untuk memulai atau mengembangkan usaha produktif.
Koperasi yang sudah melakukan digitalisasi produk dan layanan juga dapat mengembangkan produk pinjaman via aplikasi (sejenis pinjaman online) agar anggota dapat mengakses pinjaman dengan praktis.
Dengan konsisten menerapkan tata kelola seperti ini, sudah nyaris tidak akan ada celah lagi untuk terjadinya TPPU di koperasi.
Akan tetapi, lain cerita lagi jika koperasinya hanya jadi modus operandi shadow banking. Jadi koperasinya memang hanya koperasi-koperasian yang dibentuk untuk menyamarkan tindak pidana seperti pencucian uang, penipuan, dan sebagainya.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Meminimalkan Risiko Pencucian Uang di Koperasi"