Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dani Ramdani
Penulis di Kompasiana

Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Asas Ultimum Remedium Penting dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Kompas.com - 10/03/2023, 15:41 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Anak adalah anugerah yang diberi Tuhan kepada makhluknya. Selain itu anak juga merupakan aset bangsa, karena di tangan merekalah masa depan bangsa ditentukan.

Maka dari itu, sebagai salah satu aset yang memegang peran penting terhadap masa depan bangsa, anak butuh dan harus mendapat perlindungan dari negara.

Pelindungan negara bisa dilihat dari kebijakan atau produk hukum yang berpihak pada anak. Untuk menekan perkawinan anak misalnya, undang-undang memberlakukan batas minimal usia menikah.

Dalam UU Perkawinan telah disebutkan bahwa batas menikah untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Sementara dalam aturan terbaru, baik laki-laki dan perempuan harus berusia 19 tahun untuk bisa menikah.

Selain itu ada juga pembatasan usia dalam beberapa undang-undang lain. Dalam UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak misalnya, yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum mencapai usia 18 tahun.

Begitu juga dalam hukum perdata, dalam Pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat sah perjanjian adalah cakap. Cakap di sini adalah dewasa, batas usia itu di atas 18 tahun.

Artinya dalam hukum perdata, jika ada anak yang berusia di bawah 18 tahun melakukan perbuatan hukum, dapat dibatalkan karena anak tidak cakap hukum.

Dalam ranah demokrasi pun demikian, untuk bisa mendapatkan hak pilih, anak harus berusia minimal 18 tahun. Pada usia itulah anak sudah bisa dikatakan dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya sendiri.

Jika dikaitkan dengan perkembangan anak, usia di bawah 18 tahun memang masih tergolong dalam fase pencarian jati diri. Pada rentang usia ini, rasa penasaran anak sangat tinggi, namun tidak dibarengi kematangan berpikir.

Dalam ranah hukum pidana, usia di bawah 18 tahun atau di bawah umur menjadi salah satu alasan pemaaf. Maksudnya adalah alasan yang menghapus “kesalahan” dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasar 44 KUHP.

Dengan demikian, jika mengacu pada Pasar 44 KUHP, maka setiap anak yang melakukan tindak pidana tidak bisa dipidana karena tidak terdapat kesalahan padanya.

Untuk bisa dipidana, maka harus terdapat kesalahan papda anak, jadi jika tidak ada kesalahan pada anak maka anak tidak bisa dipidana.

Akan tetapi, dalam perkembangannya seorang aak juga bisa menjadi pelaku tinda pidaha. Di sinilah persoalannya. Untuk menjawab hal tersebut, maka lahirlah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

SPPA ini hadir untuk menyelesaikan persoalan itu. Perlu digarisbawahi, peradilan anak tidak sama dengan orang dewasa karena akan berpengaruh pada psikologi anak. Jadi, peradilan anak tetap harus ramah pada anak.

Asas Ultimum Remedium

Faktanya, anak-anak memang bisa menjadi pelaku tindak pidana. Tindak pidana di sini otomatis tidak bisa dikategorikan lagi sebagai kenakalan remaja karena anak telah melanggar undang-undang.

Jika ada anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau dalam bahasa UU SPPA disebut sebagai anak berkonflik dengan hukum, maka akan ada beberapa tahapan dalam menyelesaikan perkara tersebut.

Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah memenjarakan anak bukanlah poin utama dalam UU SPPA. Sebab, fokus utama dalam UU SPPA adalah pembinaan yang akan meningkatkan kesadaran pada anak.

Dalam Pasal 69 UU SPPA diatur mengenai dua hal, anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Pidana yang dimaksud jelas menurut UU SPPA.

Di dalam Pasal 71, pidana pokok terhadap anak terdiri dari: 1) peringatan, 2) pidana dengan syarat yang meliputi pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan, 3) pelatihan kerja, 4) pembinaan dalam lembaga, 5) penjara.

Selain itu ada juga pidana tambahan yang terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau pemenuhan kewajiban adat.

Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

Lantas bagaimana dengan hukum tindakan? Tindakan hanya bisa dikenakan pada anak yang belum berusia 14 tahun.

Hukum tindakan diatur dalam Pasal 82 yang terdiri dari pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.

Namun, ada yang perlu digarisbawahi sebelum menggunakan ketentuan Pasal 71, yakni diversi dan restorative justice harus diupayakan lebih dulu.

Sebab, hal itu bertujuan untuk mencapai kesepakatan anatara korban dan pelaku yang keduanya masih anak-anak. Upaya ini jauh lebih humanis karena anak adalah salah satu konsen dalam HAM yang berlaku universal.

Dengan hadirnya UU Nomor 35 Tahun 2014 dan UU SPPA adalah konsekuensi yang harus diterima Indonesia karena menyetujui Convention on the Rights of the Child.

Diversi dan restorative justice adalah salah satu upaya menjaga kemerdekaan anak. Hukuman yang diberikan pada anak juga tidak boleh merendahkan martabat anak.

Hal itu dikarenakan anak adalah aset yang berharga. Apabila diversi dan restorative justive tidak bisa dicapai, maka tahap selanjutnya adalah ketentuan Pasal 71.

Dalam Pasal 71, pidana pokok berupa penjara diletakkan paling akhir, karena hal tersebut sesuai dengan asas ultimatum remedium yang berarti pidana adalah upaya terakhir.

Asas ultimatum remedium juga disinggung dalam Pasal 2 UU SPPA. Ada alasan tersendiri mengapa penjara menjadi upaya terakhir, yakni karena penjara jelas tidak ramah untuk anak.

Saya jadi teringat ketika mengunjungi Lapas Nusakambangan tahun 2020 lalu. Saat masuk ke dalam lapas, seketika saya merasa sumpek. Para tahanan di sana juga terlihat stres karena dikurung di penjaran.

Para tahanan yang terdapat di sana adalah orang dewasa yang sudah matang secara pikiran dan mental. Jadi, bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya bisa anak-anak yang ditempatkan di dalam penjara?

Karena alasan psikologis dan mental inilah yang membuat penjara ditempatkan sebagai opsi terakhir untuk hukuman anak.

Maka dari itu, pidana pokok pada anak tidak sama dengan pidana pokok orang dewasa. Jadi, jika ada anak yang berkonflik dengan hukum, ia perlu dibina.

Hal inilah esensi hukuman yang tepat bagi anak, bukan dengan cara memenjarakan dan menyamakan hukumannya seperti orang dewasa.

Kesuksesan penegakan hukum kerap diukur dari banyaknya orang yang dipenjara. Padahal anggapan seperti itu keliru.

Esensi dari penegakan hukum tidak diukur dari seberapa banyaknya orang yang masuk penjara, akan tetapi dengan mencegahnya. Begitu pula dengan anak.

Jika anak sudah terlanjut berbuat tindak pidana, maka kewajiban kita sebagai orang dewasa adalah memberikan pembinaan. Membina mereka sangat penting agar di kemudian hari anak tidak melakukan hal serupa.

Penjara tanpa adanya pembinaan tidak akan menjamin jika seseorang tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Esensi dari pemidanaan adalah upaya agar pelaku tindak pidana tidak mengulanginya tindak pidananya lagi.

Jadi memenjarakan anak bukanlah keputusan tepat, apalagi mengingat alasan serta risiko yang dapat mengganggu psikologis dan mental anak.

Maka dari itu, pembinaan di lembaga yang tepat adalah hukuman yang paling tepat bagi anak.

Apabila memang anak tersebut harus dipenjara, maka ketentuannya tidak akan sama dengan orang dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU SPPA. Hukuman penjara ini hanya berlaku jika perbuatan anak dinilai bisa membahayakan masyarakat.

Hukuman penjara yang dijatuhkan pada anak juga memiliki ketentuan setengah dari ancaman penjara maksimal bagi orang dewasa. Jad jika perbuatan yang dilanggar diancam dengan hukuman mamti atau penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan pada anak paling lama adalah 10 tahun.

Peran Orangtua

Mungkin kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menyebabkan anak bisa melakukan tindak pidana? Apakah ketidaktahuan mereka? Jawabannya, jelas mereka tidak tahu.

Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting sebagai benteng pertama bagi anak untuk menginformasikan anak mana hal yang dilarang mana yang boleh dilakukan.

Di kasus Dul misalnya, ia yang masih berada di bawah umur mengendarai mobil dan mengalami kecelakaan hingga menyebabkan orang lain meninggal karena kelalaiannya dalam berkendara.

Dalam praktiknya, Dul hanya dikenakan tindakan dikembalikan pada orangtuanya. Dul di sini tidak salah, yang salah justru adalah orangtuanya yang malah memberi akses kepada Dul untuk bisa mengendarai kendaraan padahal usia Dul saat itu belum memenuhi syarat untuk mengendari kendaraan.

Jadi, terlalu sempit jika SPPA hanya dilihat dari diversi atau restorative justice saja. Bagi saya, tidak ada yang perlu direvisi dari UU SPPA karena tahapannya sudah benar dengan memerhatikan hak anak.

Justru yang perlu diperbaiki adalah pembinaan kita kepada anak. Peran itu ada pada keluarga dan lingkungan pendidikan. Memenjarakan anak tidak menyelesaikan akar masalah. Akar masalahnya justru terdapat pada pembinaan di lingkungan keluarga dan sekolah.

Anak yang menjadi pelaku tindak pidana bisa jadi karena minimnya pengawasan dari orangtua. Sekali lagi, jangan samakan anak dengan orang dewasa. Meski orang adalah subjek hukum, tetapi tetap untuk menjadi subjek hukum adalah mereka yang sudah cakap hukum.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pentingnya Asas Ultimum Remedium dalam Sistem Peradilan Pidana Anak"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Mengapa 'BI Checking' Dijadikan Syarat Mencari Kerja?

Mengapa "BI Checking" Dijadikan Syarat Mencari Kerja?

Kata Netizen
Apakah Jodohku Masih Menunggu Kutemui di LinkedIn?

Apakah Jodohku Masih Menunggu Kutemui di LinkedIn?

Kata Netizen
Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana

Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana

Kata Netizen
Banjir Demak dan Kaitannya dengan Sejarah Hilangnya Selat Muria

Banjir Demak dan Kaitannya dengan Sejarah Hilangnya Selat Muria

Kata Netizen
Ini yang Membuat Koleksi Uang Lama Harganya Makin Tinggi

Ini yang Membuat Koleksi Uang Lama Harganya Makin Tinggi

Kata Netizen
Terapkan Hidup Frugal, Tetap Punya Baju Baru buat Lebaran

Terapkan Hidup Frugal, Tetap Punya Baju Baru buat Lebaran

Kata Netizen
Emoji dalam Kehidupan Kita Sehari-hari

Emoji dalam Kehidupan Kita Sehari-hari

Kata Netizen
Ini yang Membuat Komik Cetak Bisa Bertahan di Era Digital

Ini yang Membuat Komik Cetak Bisa Bertahan di Era Digital

Kata Netizen
Setelah All England, Kini Bersiap Olimpiade Paris 2024

Setelah All England, Kini Bersiap Olimpiade Paris 2024

Kata Netizen
Kenyataan Pahit di Balik Tagar #JanganJadiDosen

Kenyataan Pahit di Balik Tagar #JanganJadiDosen

Kata Netizen
Simak Tips Memilih Akomodasi Saat Liburan Bersama Orangtua

Simak Tips Memilih Akomodasi Saat Liburan Bersama Orangtua

Kata Netizen
Perhatikan Asupan Gizi pada Makanan agar Puasa Lancar

Perhatikan Asupan Gizi pada Makanan agar Puasa Lancar

Kata Netizen
Beras Porang, Alternatif Kaya Manfaat Ketika Harga Beras Putih Meroket

Beras Porang, Alternatif Kaya Manfaat Ketika Harga Beras Putih Meroket

Kata Netizen
Salah Kaprah Kita Soal Penggunaan QRIS

Salah Kaprah Kita Soal Penggunaan QRIS

Kata Netizen
Kelas Menengah: Di Antara Gaji Pas-pasan dan Mimpi Jadi Kaya

Kelas Menengah: Di Antara Gaji Pas-pasan dan Mimpi Jadi Kaya

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com