Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Septian Ananggadipa
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Septian Ananggadipa adalah seorang yang berprofesi sebagai Auditor. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Apa Alasan di Balik Sistem Perbankan Global yang Bergantian Ambruk?

Kompas.com - 06/04/2023, 16:28 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Berita soal ambruknya dua bank besar di Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank sudah banyak terdengar sejak beberapa waktu lalu.

Tak lama berselang dari bangkrutnya dua bank yang telah berdiri sejak puluhan tahun lalu, bank raksasa berskala global lain, Credit Suisse ikut mengalami kesulitan likuiditas dan pemodalan.

Kesulitan yang dialami Credit Suisse hingga membuat Union Bank of Switzerland (UBS) mengakuisisinya. Dari beberapa peristiwa besar tersebut, banyak orang bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?

Berbagai masalah yang dihadapi bank-bank di AS saat ini dinilai cukup pelik, karena merupakan side-effect dari kebijakan suku bunga tinggi yang dijalankan oleh The Federal Reserve.

Sejak awal tahun 2022, bank sentral AS mengerek suku bunga acuan secara agresif dari 0,25% hingga kini telah mencapai 4,75%.

Kebijakan tersebut dilakukan The Fed untuk menangkal inflasi di AS yang meroket hingga 9,1% pada bulan Juni 2022 lalu, meski kini sudah melandai ke level 6%.

Jika dilihat dari logika ekonomi, inflasi terjadi ketika uang beredar di masyarakat terlalu banyak (over demand) dibanding suplai produk yang tersedia.

Oleh karenanya, pemerintah AS melakukan berbagai upaya untuk menarik “pulang” dollar AS agar harga-harga barang tidak terus melambung tinggi.

Akan tetapi memang kenyataannya tidak bisa sesederhana itu. Sebab, inflasi global ini turut disebabkan oleh melemahnya pasokan barang karena dampak pandemi dan perang antara Rusia dan Ukraina.

Jika barang yang tersedia sedikit serta uang yang tersedia juga dikurangi, maka tentu harga-harga juga akan tetap tinggi.

Pada tahun 2020 lalu, suku bunga acuan AS hampir menyentuh 0%, sehingga saat itu bank membeli surat berharga pemerintah atau US treasury bond dengan kupon yang rendah.

Ketika tiba-tiba suku bunga melesat, harga US treasury bond yang kuponnya rendah tentu jatuh di pasar sekunder. Secara logika sederhana, pelaku pasar akan lebih tertarik membeli US treasury bond yang kuponnya lebih tinggi dibanding kupon yang rendah.

Di kasus SVB, bank yang identik dengan sektor digital tersebut cenderung terlalu banyak mengoleksi US treasury bond yang kuponnya rendah. Ketika terjadi penarikan dana cukup besar karena banyak startup dan venture capital yang membutuhkan dana, SVB harus "menjual rugi" US treasury-nya.

Ditambah lagi dengan dorongan kepanikan para nasahab, sementara SVB tiadk lagi memiliki kas untuk memenuhi penarikan dana.

Maka akhirnya, jadilah bang terbesar ke-16 di AS ini ditutup dan operasionalnya diambil alih oleh pemerintah AS, dalam hal ini Federal Deposit Insurance Corporation (LPS-nya AS) untuk mencegah kekacauan meluas.

Setelah mengambil alih SVB, pemerintah AS mendirikan Deposit Insurance National Bank (DINB) of Santa Clara yang memastikan dana nasabah seluruhnya bisa diakses.

Namun, meski tindakan pengambilalihan sudah dilakukan oleh, namun efek turunnya kepercayaan nasabah pada perbankan rupanya ikut menyeret bank lain, seperti Signature Bank dan First Repulic Bank.

Sebagai gambaran, SVB ini memiliki aset sekitar USD 211 miliar, itu hampir dua kali lipat total aset Bank Mandiri yang sebesar USD 127 miliar. Maka dari itu, tidak heran bila masyarakat AS dan seluruh dunia cukup terkejut dengan ambruknya SVB, apalagi hanya dalam waktu sekitar dua hari saja.

Bisnis Kepercayaan

Industri perbankan di era modern menjadi bagian penting dari sistem ekonomi si hampir seluruh negara. Secara fundamental, bank adalah bisnis yang sangat mengandalkan kepercayaan.

Hal tersebut dikarenakan uang yang dikelola sebagian besar merupakan Dana Pihak Ketiga (DPK), alias dana nasabah.

Meski sebuah bisnis bank itu tidak memerlukan modal yang besar, namun dari sisi kewajiban ada “utang” kepada nasabah yang lantas dikelola menjadi penyaluran kredit atau investasi surat berharga.

Maka dari itu, bank sering disebut sebagai bisnis yang mengandalkan leverage, sebab bank sangat mengandalkan dana yang “dipinjam” dari nasabah untuk menjalankan bisnisnya.

Semua dana yang disimpan di bank tentu didasarkan pada kepercayaan masyarakat bahwa uangnya akan aman. Namun, secara bisnis, bank akan menyalurkan uang simpanan nasabah tersebut menjadi kredit atau pembiayaan.

Selain menyalurkannya menjadi kredit, bank juga bisa menyimpan dana tersebut di bank lain, atau berinvestasi dengan membeli surat berharga, untuk mendapatkan imbal hasil. Bank biasanya hanya menyimpan sebagian kecil asetnya dalam bentuk kas.

Lantas, bagaimana jika ada nasabah yang ingin menarik dananya secara cash sementara bank tidak memiliki cukup kas?

Inilah alasannya bank perlu mengelola likuiditasnya dengan hati-hati. Bila kepercayaan masyarakat terhadap bank terus menurun, maka nasib bank tersebut bisa jadi akan serupa dengan kasus SVB dan Signature.

Sebuah kondisi bank dengan keterbatasan kas tersebut berhubungan dengan sistem Fractional Reserve Banking yang saat ini diterapkan hampir di seluruh dunia.

Jadi secara regulasi, bank "hanya" diwajibkan menyediakan cadangan kas dalam jumlah tertentu, tidak boleh semuanya disalurkan menjadi kredit atau surat berharga.

Reserve ratio yang umum di dunia adalah sekitar 10%, sehingga secara sederhana jika terdapat DPK sebesar Rp1.000 miliar, maka kas minimum yang perlu disimpan oleh bank sebesar Rp100 miliar. Sisanya bank yang menentukan ke mana uang tersebut akan disalurkan.

Oleh karenanya, jika ada 30% dari nasabahnya yang menarik dana dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan, tentu bank akan kesulitan memenuhinya.

Apalagi di era suku bunga tinggi, surat berharga negara menjadi problematika tersendiri karena bank akan merugi jika harus menjualnya di tengah tekanan.

Seperti kata-kata yang pernah diucapkan oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933.

"When you deposit money in the bank, the bank does not put your money into a safe deposit vault. It invests your money in many different forms of credit-bonds and many other kinds of loans".

Banyak yang tidak menyadari bahwa kredit yang disalurkan oleh bank akan menjadi uang "baru" yang beredar di masyarakat. Misalnya si A menyimpan uang Rp100 miliar di Bank A, lalu bank A menyalurkan kredit Rp90 miliar ke si B (ingat bank harus menyimpan cadangan 10% atau Rp10 miliar dalam bentuk kas).

Selanjutnya si B bisa menggunakan uang "baru" tersebut untuk membeli barang, modal usaha, atau bahkan menyimpannya lagi ke bank B. Jika si B menyimpan Rp90 miliarnya ke bank B, maka bank B bisa menyalurkan kredit ke si C sebesar Rp81 miliar, dan seterusnya.

Ketika roda uang tersebut terus bergulir tentu uang yang beredar akan semakin banyak bukan? Jika uang semakin banyak tentu akan berdampak pada permintaan (demand) yang semakin tinggi.

Oleh karena itu Bank Sentral biasanya sangat memperhatikan tingkat pertumbuhan penyaluran kredit.

Sejatinya pertumbuhan kredit ditujukan untuk menggerakkan roda ekonomi, seperti menambah modal usaha, membeli mesin baru, atau membangun pabrik sehingga menambah lapangan kerja. Namun jika penyaluran kredit ini berlebihan, tentu bisa jadi berujung kenaikan harga atau inflasi.

Alhasil, fungsi penyaluran kredit menjadi pedang bermata dua bagi sistem ekonomi. Pada satu sisi, penyaluran kredit akan mendorong produktivitas sektor usaha.

Namun, di sisi lain jika tidak dikelola dengan benar maka akan mendorong kesenjangan sosial atau invequality. Artinya, pengusaha kaya akan semakin mudah mendapatkan tambahan modal dengan bunga rendah, sementara pengusaha kecil akan dibebani bunga tinggi atau bahkan terjebak kredit konsumtif.

Dengan memahami beberapa konsep diatas, sebesar apapun sebuah bank jika nasabah berbondong-bondong menarik dananya, tentu akan berpotensi kolaps.

Credit Suisse

Kondisi krisis likuiditas hingga berujung bangkrut dialami oleh SVB dan Signature Bank, yang tidak mampu memenuhi penarikan dana nasabahnya.

Eksposur masalah lebih jumbo lagi dialami Credit Suisse (CS), bank berskala global ini kesulitan likuiditas hingga harus meminjam USD 54 miliar atau sekitar Rp800 triliun ke bank sentral Swiss.

Nasib bank yang telah berdiri selama 167 tahun ini bahkan harus berakhir diakuisisi oleh rival senegaranya yaitu UBS, demi mencegah kepanikan nasabah meluas.

Sejatinya Credit Suisse sudah cukup lama mengalami penurunan bisnis, bahkan pada tahun 2015 s.d. 2017 mengalami kerugian berturut-turut.

Pada 2021 dan 2022 ini juga CS mengalami loss sangat dalam hingga CHF 7.293 juta. Belum lagi berbagai skandal manajemen yang hampir setiap tahun menghinggapi CS seperti skandal espionase tahun 2020, kerugian investasi di Greensill dan Archegos di 2021, hingga kasus pencucian uang di 2022.

Laporan keuangan CS tahun 2022 juga disematkan opini Adverse Opinion (Tidak Wajar) oleh KAP-nya yaitu PWC. Sederet kesalahan itulah yang membuat Credit Suisse "dihukum berat" oleh pelaku pasar.

UBS yang mengakuisisi CS pun "hanya" mau membayar sekitar sekitar USD 3,2 miliar, padahal kapitalisasi pasar CS sebelum kasus ini masih sekitar USD 7 miliar.

Alhasil setelah pengumuman UBS tersebut, harga saham CS langsung ambles 55% dalam sehari. Padahal kapitalisasi pasar Credit Suisse dahulu pernah menembus USD 87 miliar di tahun 2007, kini dihargai USD 3,2 miliar. Luar biasa dampaknya jika nasabah sudah kehilangan kepercayaan pada sebuah bank.

Industri perbankan global kini mengalami periode yang sulit, terutama sejak Global Financial Crisis tahun 2008 yang meruntuhkan Lehmann Brothers.

Apalagi The Fed memberi sinyal akan melakukan berbagai cara untuk menjaga stabilitas ekonomi AS, termasuk "mencetak uang" lagi untuk memberi suntikan likuiditas ke industri perbankan.

Jika terjadi dalam waktu yang panjang, printing money US Dollar tentu saja akan menimbulkan gejolak serius di ekonomi global.

Bukan tidak mungkin, di masa depan industri perbankan akan mengalami disrupsi yang besar setelah mengalami badai krisis kepercayaan ini.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bergantian Ambruk, Apa yang Terjadi Pada Sistem Perbankan Global?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Kata Netizen
Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Kata Netizen
Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Kata Netizen
Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Kata Netizen
Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Kata Netizen
Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kata Netizen
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com