Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Widi Kurniawan
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Widi Kurniawan adalah seorang yang berprofesi sebagai Human Resources. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Dari Sisi Penumpang, Begini Rasanya Naik KRL Impor Bekas Jepang

Kompas.com - 11/04/2023, 09:10 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Terkait pengadaan KRL Indonesia, sampai saat ini belum juga menemukan titik temu. Belum lama ini, anggota DPR malah menuding PT KAI dan KCI tidak melakukan perencanaan dengan baik sehingga terlambat memesan KRL buatan PT INKA.

PT KAI dan KCI sendiri memiliki alasan terhalang pandemi Covid-19 yang menyebabkan pemesanan KRL terlambat dan memilih opsi impor KRL bekas dari Jepang.

Padahal rencana impor kereta bekas dari Jepang ini dinilai tidak sejalan dengan langkah pemerintah yang tengah membatasi barang impor bekas.

Bisa dikatakan PT KAI dan KCI ingin thrifting kereta bekas namun malah terhambat regulasi.

Meski demikian, bagi penumpang KRL tidak terlalu mempermasalahkan apakah kereta yang digunakan adalah bekas impor atau kereta baru buatan dalam negeri.

Satu hal yang paling penting bagi penumpang adalah unit kereta yang selalu tersedia, baik kereta bekas maupun kereta baru, sehingga tak lagi mendatangkan keluhan dari penumpang.

Jadi, bila persoalan pengadaan kereta ini tak kunjung menemukan titik temu, maka yang akan rugi dan menderita tak lain adalah penumpang itu sendiri.

Apa pasal? Begini, di tengah jumlah penumpang KRL yang kian meningkat, kurangnya armada KRL Jabodetabek sungguh terasa.

KRL lintas Bogor yang dikenal paling banyak penumpangnya, saat ini lebih sering tersedia kereta dengan formasi 8 gerbong. Alhasil kereta selalu padat dan membuat penumpang di dalamnya layaknya pepes tahu.

Padahal dengan banyaknya penumpang, idealnya setiap rangkaian minimal menggunakan 10 atau 12 gerbong. Itupun pihak KCI konon harus melakukan kanibalisme alias memotong rangkaian jika ingin menambah jumlah gerbong kereta dalam satu rangkaian.

Nah, karena jumlah keretanya kian terbatas, tentu makin sulit untuk melakukan kanibalisme atau menambah gerbong.

Lantas, bagaimana sebenarnya kondisi KRL yang tersedia saat ini?

Dari sisi penumpang, perlu diakui memang sudah terlanjur nyaman dengan buatan Jepang meski dalam kondisi bekas.

Salah satu KRL bekas Jepang yang masih digunakan.Kompasianer WIdi Kurniawan Salah satu KRL bekas Jepang yang masih digunakan.
KRL yang tersedia saat ini memang terdiri dari tipe dan tahun pembuatan yang berbeda-beda, namun masih terbukti ampuh untuk membawa jutaan penumpang yang pulang dan pergi setiap harinya.

Dari segi usia memang sudah ada beberapa unit kereta yang memiliki penyakit, seperti suara mendengung keras di gerbong yang berasal dari mesin AC, AC yang kerap mati dan kurang dingin, suara speaker yang tidak jelas, dll.

Akan tetapi, secara umum KRL bekas dari Jepang ini masih bisa dibilang layak pakai terutama untuk mengangkut penumpang dengna tingkat kepadatan yang luar biasa setiap harinya.

Ada satu unit KRL yang menjadi favorit bagi penumpang serta penggemar KRL, yakni seri JR-205 dengan wajah yang dikenal dengan istilah "Marchen Face".

KRL bekas Jepang Marchen Face.Abdu Rahman KRL bekas Jepang Marchen Face.
Kereta ini datang ke Indonesia sejak 2019 dan menjadi yang terbaru di antara jenis kereta lainnya. Mesinnya masih terasa halus ketika melaju. Juga interior dalam kabin seperti besi pegangan yang kokoh dan bangku yang masih empuk.

Itulah hebatnya kereta bekas Jepang, meskipun di negara asalnya sudah pensiun tetapi masih bisa melayani kebutuhan di Indonesia.

Bagaimana dengan kereta bikinan INKA?

Sampai saat ini, KRL buatan anak bangsa sebenarnya pernah melayani penumpang dengna rute Jabodetabek di medio tahun 2013 silam.

Namun sayang, kereta buatan INKA ini dinilai kalah saing dengan kereta buatan Jepang. Saya masih ingat bagaimana kecewanya penumpang jika yang datang menjemput adalah kereta ini.

Banyak hal yang menyebabkan kerata INKA saat itu tidak disenangi, salah satunya adalah kerap mogok. Sehingga kerata ini secara perlahan kerata ini “turun kasta” menjadi sebatas kereta pengumpan atau feeder dan selanjutnya sama sekali menghilang dari jalur Jabodetabek untuk dilakukan penyempurnaan kembali oleh INKA.

Saat ini kerata buatan INKA dengan seri EA202 atau KRL i9000 KfW telah lahir kembali dan bertugas melayani lintas KRL Jogja-Solo.

Suasana di dalam gerbong KRL buatan INKA lintas Jogja-Solo.Kompasianer Widi Kurniawan Suasana di dalam gerbong KRL buatan INKA lintas Jogja-Solo.
Terdapat beberapa perubahan signifikan yang saya rasakan ketika mencoba kereta ini beberapa waktu lalu, yang intinya membuat lebih nyaman ditumpangi.

Namun, jika kelak kereta baru dari INKA akan digunakan di jalur Jabodetabek yang lebih padat penumpang, maka seharusnya kereta baru harus sesuai dengan kondisi saat ini dan ke depan.

Utamanya desain gerbong. KRL i9000 KfW buatan INKA masih terlalu banyak lengkungan yang akan membatasi jumlah dan ruang gerak penumpang ketika dalam kondisi sangat padat.

Berbeda dengan seri buatan Jepang yang rata-rata kotak, sehingga tidak akan terlalu mengganggu posisi berdiri penumpang di dalamnya.

Meski demikian, sayangnya kereta baru buatan INKA ini konon baru akan diproduksi tahun 2025 mendatang akibat leletnya pemesanan. Penumpang harus rela bersabar dengan kondisi saat ini jika memang keran impor kereta dari Jepang masih ditutup.

Pada akhirnya, memang nasib penumpang lah yang dipertaruhkan di tengah polemik pengadaan KRL ini.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Begini Rasanya Naik KRL Impor Bekas Jepang"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Kata Netizen
Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Kata Netizen
Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kata Netizen
Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Kata Netizen
'Selain Donatur Dilarang Mengatur', untuk Siapa Pernyataan Ini?

"Selain Donatur Dilarang Mengatur", untuk Siapa Pernyataan Ini?

Kata Netizen
Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang 'Tidak'?

Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang "Tidak"?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau