Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yon Bayu
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Yon Bayu adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Ekspor Pasir: Antara Nasionalisme dan Ancaman Kedaulatan NKRI

Kompas.com - 16/06/2023, 09:58 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Terkait hal itu, mari kita lihat fakta-fakta berikut.

Sejak tahun 1962, Singapura melakukan reklamasi untuk menambah luas daratan. Hal ini membuat Singapura diilustrasikan sebagai red dot oleh mantan Presiden BJ Habibie ketika membandingkan luas wilayah Indonesia dengan Singapura.

Nyatanya hingga saat ini, daratan Singapura yang menjorok ke laut sudah bertambah sebanyak 12 kilometer. Jika dihitung secara keseluruhan, sejak merdeka hingga tahun 2000, luas wilayah Singapura sudah bertambah sekitar 200 km2, dari awalnya 581 km2 menjadi 766 km2.

Selain itu pada saat yang bersamaan juga berpotensi mengurangi luas wilayah Indonesia, apalagi jika garis pantai Indonesia juga berkurang akibat dampak pemanasan global.

Terkait hal itu, ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yakni luas zona laut 12 mil dari garis pantai, tidak berlaku mengingat lebar Selat Malaka atau Selat Singapura kurang dari 24 mil sehingga akan tumpang tindih.

Di samping itu, baik Indonesia maupun Singapura sudah menyepakati garis tengah pantai yang berlaku tetap berdasarkan ketentuan Pasal 15 Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.

Masalahnya, perjanjian garis tengah yang efektif berlaku sejak tahun 2005 ini tidak mencakup bagian barat dan timur.

Perjanjian ini juga perlu ditindaklanjuti karena masih basic. Perlu ada perjanjian lanjutan terkait batas laut yang lebih komprehensif dan permanen.

Persoalan ekspor pasir ini sebenarnya pernah dibahas secara luas di awal tahun 2000 hingga akhirnya melahirkan larangan ekspor pasir laut di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Maka dari itu, dengan dikeluarkannya kebijakan ekspor terbaru ini, kita patut mewaspadai motif lain di luar kepentingan ekonomi Indonesia, sebab pada saat yang bersamaan kebijakan tersebut akan sangat menguntungkan Singapura.

Jika memang dikeluarkannya kebijakan izin ekspor pasir laut adalah sebagai paket upaya menarik investor Singapura ke IKN Nusantara, tentu langkah tesebut bukanlah kebijakan yang cerdas.

Apalagi jika kebijakan itu dikeluarkan akibat adanya tekanan dari segelintir pengusaha pasir laut yang sedang membutuhkan dana untuk kepentingan politiknya. Sungguh sangat disesalkan.

Dengan kondisi demikian, bukankah sangat naif ketika kita mendukung ekspor pasir laut untuk perluasan wilayah Singapura yang merugikan Indonesia?

Bukankah kedaulatan negara adalah (katanya) harga mati seperti slogan-slogan yang terpampang di ruang-ruang publik dan digelorakan oleh sekelompok masyarakat yang mengaku diri paling nasionalis?

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ekspor Pasir, Nasionalisme, dan Ancaman Kedaulatan NKRI"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Kini Naik Bus dari Bogor ke Jakarta Kurang dari 'Goceng'
Kini Naik Bus dari Bogor ke Jakarta Kurang dari "Goceng"
Kata Netizen
Diet Saja Tak Cukup untuk Atasi Perut Buncit
Diet Saja Tak Cukup untuk Atasi Perut Buncit
Kata Netizen
Bisakah Berharap Rusun Bebas dari Asap Rokok?
Bisakah Berharap Rusun Bebas dari Asap Rokok?
Kata Netizen
Mencari Kandidat Pengganti Nasi, Sorgum sebagai Solusi?
Mencari Kandidat Pengganti Nasi, Sorgum sebagai Solusi?
Kata Netizen
Perang Ego, Bisakah Kita Menghentikannya?
Perang Ego, Bisakah Kita Menghentikannya?
Kata Netizen
Berpenampilan Menarik, Bisa Kerja, dan Stereotipe
Berpenampilan Menarik, Bisa Kerja, dan Stereotipe
Kata Netizen
Jelang Bagikan Rapor, Wali Murid Boleh Beri Hadiah?
Jelang Bagikan Rapor, Wali Murid Boleh Beri Hadiah?
Kata Netizen
Delayed Gratification, Dana Pensiun, dan Masa Tua
Delayed Gratification, Dana Pensiun, dan Masa Tua
Kata Netizen
Memaknai Idul Kurban dan Diplomasi Kemanusiaan
Memaknai Idul Kurban dan Diplomasi Kemanusiaan
Kata Netizen
Sudah Sejauh Mana Pendidikan Kita Saat Ini?
Sudah Sejauh Mana Pendidikan Kita Saat Ini?
Kata Netizen
Masihkah Relevan Peran dan Tugas Komite Sekolah?
Masihkah Relevan Peran dan Tugas Komite Sekolah?
Kata Netizen
Masa Muda Sejahtera dan Tua Bahagia, Mau?
Masa Muda Sejahtera dan Tua Bahagia, Mau?
Kata Netizen
Jebakan Frugal Habit, Sudah Mencoba Hemat Tetap Saja Boncos
Jebakan Frugal Habit, Sudah Mencoba Hemat Tetap Saja Boncos
Kata Netizen
Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia
Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia
Kata Netizen
Mendesak Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif bagi Difabel
Mendesak Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif bagi Difabel
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau