Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Berita soal siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Temanggung yang nekat membakar sekolahnya sendiri pada 27 Juni 2023 begitu mencuri perhatian publik.
Setelah diselidiki alasan siswa membakar sekolahnya dipicu oleh perasaan sakit hati karena sering mendapat perundungan dari teman-teman dan gurunya.
Mirisnya, kejadian serupa ternyata juga pernah terjadi di Guyana. Seorang siswi berusia 15 tahun nekat membakar gedung sekolahnya lantaran ponselnya disita oleh gurunya. Akibat kejadian ini, ada 19 orang yang meninggal dunia.
Peristiwa-peristiwa tersebut semakin diperburuk ketika publik mendapati fakta bahwa pihak sekolah justru tidak memihak dan mendukung siswa yang menjadi korban perundungan tersebut.
Khususnya untuk kasus di Temanggung. Kepala SMPN 2 Pringsurat malah menyalahkan R (14), yang merupakan korban perundungan, dengan menganggap R sebagai seorang yang hanya mencari perhatian alias caper.
Artinya kondisi ini mencerminkan fenomena yang lebih luas, yakni bystander effect. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah, tetapi juga bisa ditemukan dalam konteks rumah tangga, dan seperti gunung es, mungkin hanya sebagian kecil kasus yang diketahui publik.
Jika mau dirunut ke akar masalahnya, mungkin fenomena ini berangkat dari kebiasaan orangtua dan guru yang kerap menggunakan pendekatan tough love.
Baik orangtua maupun guru kerap memberikan label, seperti “caper”, “bandel”, “nakal”, dan sebagainya. Kebiasaan ini akan memberi dampak negatif pada kondisi kejiwaan anak, bahkan ketika mereka sudah dewasa.
Hal ini diperparah dengan pola komunikasi orangtua yang kerap menggunakan intonasi tinggi ketika menyampaikan pesan kepada anaknya.
Ungkapan seperti "lagian kamu sih..." atau "ngeyel kalau dibilangin..." seringkali diucapkan tanpa menyadari bagaimana kata-kata tersebut bisa merusak kepercayaan diri dan kesejahteraan emosional anak.
Di banyak kasus, orangtua atau guru justru kerap berlindung di balik “orangtua selalu tahu dan mengerti yang terbaik untuk anaknya” atau “guru sudah lebih dulu makan asam garam” untuk membenarkan ucapan juga pendapat mereka terhadap anaknya.
Hal ini meruapakan pendekatan yang memiliki konsekuensi yang serius meskipun niat orangtua atau guru tersebut sebenarnya baik.
Hal yang perlu diingat adalah meskipun orangtua atau guru sudah lebih dulu dan lebih banyak “makan asam garam”, namun keadaan dunia yang dihadapi oleh anak saat ini tentu sudah jauh berbeda dengan keadaan orangtua mereka dulu.
Adagium sudah lebih dulu “makan asam garam” sejatinya sudah tidak begitu relevan jika ditujukan pada anak. Pasalnya, anak zaman sekarang sudah makan makanan yang beragam, “makan stroberi, anggur, seblak” dan lain-lain yang mungkin di zaman orangtuanya dulu belum dikenal.
Oleh karenanya penting bagi kita, khususnya para orangtua, untuk lebih bisa terbuka terhadap perubahan-perubahan zaman dan tidak terjebak dalam pola pikir “oragtua saya dulu mengajari seperti ini, lho..” atau “hanya dicubit sedikit sudah nangis, dulu waktu saya kecil dipukul sampai tubuh membiru pun masih bisa tahan.”
Patresia Kirnandita dalam bukunya yang berjudul Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa mengungkapkan bahwa pola asuh yang tidak ideal dapat menyebabkan luka emosional yang berkepanjangan pada diri seorang individu, bahkan hingga ia dewasa.
Luka emosional yang berkepanjangan ini biasa juga dikenal dengan istilah inner child.
Konsep inner child awalnya diperkenalkan oleh psikolog Carl Jung (1875-1961), yang berpendapat bahwa terdapat bagian dalam diri setiap individu yang memengaruhi perilaku dan keputusan yang mereka ambil.
Pengalaman pola asuh yang buruk dapat memberikan dampak jangka panjang pada individu, terutama terkait dengan inner child mereka.
Akibat jangka panjang dari beban emosional dan trauma masa kecil yang tak teratasi, akan berdampak dan memengaruhi hubungan sosial serta kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan yang baik.
Kenangan buruk masa lalu akan bisa memengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan orang lain, misalnya seperti kesulitan membangun hubungan yang sehat hingga bisa menciptakan pola pikir serta perilaku yang merugikan baik diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya.
Bagi sebagian orang konsep orangtua toksik hanyalah omong kosong dan menganggap yang ada hanyalah anak yang tak berbaikti, anak yang mudah mengeluh, anak yang suka menyalahkan, anak yang sering membantah, hingga anak yang durhaka.
Ditambah lagi ada juga yang percaya bahwa anak-anak dengan sikap seperti itu timbul akibat mendapat pengaruh negatif dari hal yang kebarat-baratan.
Berita pembakaran gedung sekolah di Temanggung dan di Guyana mengingatkan saya akan pernyataan Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, seorang konsultan pengasuhan anak yang disiarkan oleh Kompas TV.
Dalam siarannya, Ia menyampaikan bahwa semua pelaku kekerasan pada dasarnya memiliki penyebab dan salah satu penyebab tersebut adalah pola asuh orangtua.
Apa yang disampaikan oleh Ihsan senada dengan apa yang ditulis oleh Patresia dalam bukunya, bahwa peran orangtua dalam membentuk dan memengaruhi anak itu penting.
Masih menurut Ihsan, Ia menekankan bahwa jika kita ingin melihat perubahan pada anak, kita perlu mengubah lebih dulu perilaku kita dalam berinteraksi dengan mereka.
Hal itu karena, menurut Ihsan, ketika anak semakin dewasa kita sebagai orangtua lebih banyak mengajak mereka untuk berbicara dan berdiskusi alih-alih hanya menceramahi dan memberi nasihat kepada anak.
Artinya, mendengarkan dan memberi ruang bagi anak untuk bisa mengekspresikan diri dan perasaan mereka adalah hal yang sangat penting, sehingga anak akan merasa dihargai dan diperhatikan.
"Seharusnya semakin dewasa anak kita semakin banyak diajak ngomong, bukan diomongin," kata Ihsan.
Kasus R (14) yang nekat membakar sekolahnya di Temanggung karena sakit hati setelah mendapat perundungan dari teman-teman dan gurunya sendiri adalah contoh tragis dari dampak yang dapat timbul akibat pola asuh yang tak sehat serta kekerasan yang dialami oleh anak.
Dalam buku "Homecoming: Reclaiming and Championing Your Inner Child" karya John Bradshaw dijelaskan bahwa ketika anak tidak mendapatkan kasih sayang yang layak sebagai manusia dari orangtua, keluarga, guru, dan sebagainya, hal ini dapat menyebabkan timbulnya rasa frustrasi yang kemudian berkembang menjadi trauma yang signifikan.
Di samping itu, dampak dari inner child yang terluka dapat tercermin dalam berbagai perilaku destruktif saat seseorang tumbuh dewasa. Misalnya, sabotase diri, menyakiti diri sendiri, perilaku agresif, hingga tindak kekerasan lainnya.
Terkait hal ini saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan Agstried Piethers, psikolog anak dan pendidikan, yang saya dapat dari buku Filosofi Teras milik Henry Manampiring.
Agstried mengatakan bahwa seringkali orangtua (atau mungkin juga guru?) memiliki tuntutan yang tidak realistis terhadap perkembangan putra-putri mereka.
Senada dengan apa yang disampaikan Patresia, "Anak bukan buku kosong tempat orang tua bebas menorehkan apa saja sekehendak mereka".
Mereka tidak boleh mengabaikan bahwa peran orangtua (mungkin juga guru?) yang ideal adalah sebagai pembimbing, pemandu, atau fasilitator, bukan atasan, penguasa, apalagi diktator.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tragedi Pembakaran Sekolah dan Inner Child: Mengapa Pola Asuh Penting?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.