Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Junjung Widagdo
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Junjung Widagdo adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

5 Celah Kecurangan PPDB, Bukti Perlunya Evaluasi dan Revisi Regulasi

Kompas.com - 25/07/2023, 12:25 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Setiap tahun, atau tepatnya setiap kali masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), pasti ada saja permasalahan yang terjadi. Banyak kisruh yang terjadi saat PPDB dimulai, baik dari tingkat SD, SMP, maupun SMA. Bahkan, setelah masa PPDB usai pun, masih banyak menyisakan teka-teki terkait proses PPDB dan ironisnya hal ini selalu terulang setiap tahunnya.

Permasalahan yang terjadi pada proses PPDB tidak melulu soal kecurangan yang dilakukan oleh beberapa oknum, melainkan juga soal regulasi yang mengatur tentang PPBD itu sendiri, yakni Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 yang masih memiliki banyak celah dan sayangnya bisa dimanfaatkan masyarakat untuk memuluskan niatnya.

Celah yang ada ini dimanfaatkan oleh beberapa masyarakat untuk melakukan tindak kecurangan dalam proses PPDB. Hal yang perlu disayangkan, hal ini malah terkesan legal di mata masyarakat sebab Permendikbud itu sendiri tidak secara rinci mengatur ketetapan pada jalur yang dibuka. Akibatnya tentu membuat tujuan dari Permendikbud terkait PPDB ini tidak tepat sasaran.

Lantas, apa saja celah-celah dari regulasi yang termuat di Permendikbud No.1 Tahun 2021 yang dimanfaatkan masyarakat untuk berbuat curang dalam proses PPDB?

Tanpa bermaksud mengajarkan cara untuk berbuat curang, berikut beberapa celah yang dimanfaatkan banyak orangtua untuk mendapatkan persyaratan sesuai dengan jalur yang dipilih agar anaknya bisa mendaftar dan diterima pada sekolah yang diinginkannya.

  • Titip Anak

Pasal 17 (1) PPDB melalui jalur zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a diperuntukkan bagi calon peserta didik baru yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah (Pasal 17 Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021)

Celah pertama yang dimanfaatkan oleh banyak orangtua dalam proses PPDB adalah aturan yang terdapat dalam pasal ini. Aturan dalam pasal ini sering dimanfaatkan oleh orangtua peserta didik calon pendaftar PPDB untuk mengakali agar anaknya bisa masuk melalui jalur zonasi.

Aturan dalam pasal tersebut yang menerangkan soal zonasi sayangnya tidak menjelaskan secara spesifik mengenai status hubungan dalam keluarga peserta didik pada domisilinya tersebut.

Akibatnya, banyak orangtua peserta didik yang mengakalinya dengan cara menitipkan lalu memasukkan nama anaknya ke dalam Kartu Keluarga (KK) orang lain yang jarak rumahnya dekat dan berada pada zonasi sekolah yang diincar.

Dengan cara ini, mereka berharap anaknya bisa memenuhi syarat aturan zonasi dan mendapatkan akses prioritas dalam PPDB tersebut. Tentu praktik curang ini akan merugikan calon peserta didik lain yang juga berdomisili di wilayah zonasi tersebut.

Padahal tujuan dari penerapan jalur zonasi dalam PPDB adalah untuk memberikan kesempatan yang adil bagi calon peserta didik yang berdomisili di wilayah sekitar sekolah untuk mendapatkan akses pendidikan berkualitas.

Jika sudah begini, siapa yang bisa disalahkan?

Para orangtua yang melakukan praktik titip anak juga tidak bisa sepenuhnya dianggap salah. Sebab, ketentuan yang terdapat dalam pasal 17 ayat 1 tadi tidak secara rinci menyebutkan status hubungan dalam keluarga peserta didik di suatu domisili zonasi. Sehingga, mereka akan menganggap cara ini adalah cara wajar dan tidak melanggar aturan apapun demi bisa memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan.

Di pasal yang sama, pada ayat kedua juga diterangkan mengenai *domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB*.

Ayat ini juga semakin memperlebar celah untuk menyiasati aturan tentang zonasi. Durasi yang hanya ditetapkan satu tahun, membuat orangtua bisa menitipkan anak pada KK kerabat atau kawan dekat satu tahun sebelum PPDB dimulai. Dengan begitu, ketika pada masanya PPBD digelar, anaknya dapat mendaftar ke sekolah yang diinginkan.

Oleh karena itu tak mengherankan bila tingkat kepadatan jumlah pendaftar menjadi tinggi di radius yang sangat dekat dengan sekolah. Hal ini bukan disebabkan oleh jumlah kelahiran di daerah tersebut yang tinggi, melainkan banyaknya praktik titip anak yang dilakukan demi lolos PPDB jalur zonasi.

  • Modus Kontrak Rumah atau Menumpang Tinggal

Celah berikutnya yang kerap dimanfaatkan orangtua peserta didik adalah tidak mengganti alamat domisili yang tertera pada KK. Tak jarang orangtua menginginkan anaknya masuk di sekolah yang terdapat pada zonasi tertentu. Namun, ketika tiba masa pendaftaran PPDB, mereka sudah tak lagi tinggal di wilayah tersebut karena hanya rumah kontrak atau menumpang tinggal.

Meski begitu, mereka tetap mendaftarkan anaknya dengan menggunakan alamat domisili lama yang belum diganti, meski sudah tak lagi tinggal di alamat tersebut demi memasukkan anaknya di sekolah yang diinginkan.

Cara ini mungkin dianggap para orangtua adalah cara yang sah dan tak melanggar, sebab berdasarkan dokumen KK yang digunakan untuk mendaftar adalah sah dan alamat yang tertera juga sesuai dengan zonasi sekolah.

Hal ini bisa terjadi karena peraturan dalam Permendikbud hanya mensyaratkan KK saja. Jadi, jika orang tua pendaftar mampu menunjukkan kartu keluarga maka pendaftaran sah dan dapat dilanjutkan.

  • Surat Keterangan Domisili

(3) Dalam hal kartu keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dimiliki oleh calon peserta didik karena keadaan tertentu, maka dapat diganti dengan surat keterangan domisili. (4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. bencana alam; dan/atau b. bencana sosial. (Pasal 17 Permendikbud nomor 1 tahun 2021)

Masih di pasal 17, diterangkan pada ayat 3 dan 4 bahwa KK dapat digantikan dengan surat keterangan domisili dalam keadaan tertentu, seperti terkena bencana alam dan atau bencana sosial.

Jika merujuk pada UU RI No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh alam dan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh manusia.

Tidak adanya ketentuan yang mengatur secara spesifik domisili peserta didik, tingkat bencana serta jarak waktu antara terjadinya bencana dengan waktu pendaftaran PPDB membuat pasal ini juga menjadi celah bagi orang tua pendaftar.

Selain itu, pada kedua ayat tersebut juga tidak dijelaskan soal seberapa parah tingkat kerusakan akibat bencana yang dimaksud. Merumuskan tingkat bencana menjadi hal yang penting agar maksud dan tujuan yang sebenarnya pada pasal 17 ayat 3 dan 4 ini lebih tepat sasaran.

Padahal aturan dalam ayat 3 dan 4 ini menyiratkan maksud untuk melindungi dan menjaga hak anak yang terdampak bencana agar tetap dapat melanjutkan pendidikan di mana pun tempatnya berada. Sebab, tak jarang bencana mengharuskan masyarakat yang terdampak untuk pindah ke daerah lain yang lebih aman.

Jika dalam aturan tadi diterangkan dengan jelas soal ketentuan spesifik domisili peserta didik dan tingkat bencana seperti apa yang diperbolehkan untuk mengurus surat keterangan domisili, maka harapannya tak akan ada lagi masyarakat yang bisa dengan mudah mengklaim dirinya terdampak bencana dan bisa mengajukan serta meminta surat keterangan domisili demi memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan.

  • Perpindahan Tugas Orangtua

Pasal 23 (1) Perpindahan tugas orang tua/wali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c dibuktikan dengan surat penugasan dari: a. instansi; b. lembaga; c. kantor; atau d. perusahaan yang mempekerjakan (Pasal 17 Permendikbud nomor 1 tahun 2021)

Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara spesifik soal berapa lama orangtua dipindahtugaskan ke daerah tersebut. Pasal ini hanya menjelaskan bahwa jalur ini diprioritaskan bagi peserta didik yang jarak tempat tinggalnya terdekat dengan sekolah.

Tidak adanya keterangan spesifik soal aturan pindah tugas/kerja orangtua, seperti berapa lama dan dari mana ke mana, maka ini bisa jadi celah yang dimanfaatkan oleh orangtua untuk mendaftarkan anaknya PPDB ke sekolah yang diinginkan.

Modus yang digunakan bisa saja seperti orangtua akan meminta surat keterangan di kantor seolah-olah ia baru saja dipindahtugaskan ke daerah yang sama dengan sekolah yang diinginkan berada.

Bisa juga orangtua menggunakan surat tugas yang lama dan sebenarnya sudah tidak berlaku, tetapi pihak sekolah tidak bisa memverifikasi kebenaran surat tersebut.

Cara lainnya bisa juga orangtua menggunakan surat pindah tugas meski ke daerah yang sejatinya berada di luar zonasi sekolah yang diinginkan. Dengan surat pindah tugas ini, orangtua bisa menggunakannya untuk mendaftarkan anaknys PPDB meski domisilinya berada di luar zonasi sekolah.

Sebab, aturan dalam pasal tadi tidak mengatur soal dari dan ke mana perpindahan tugas orangtua yang diizinkan untuk mendaftarkan anaknya melalui jalur perpindahan tugas.

Hal lain yang juga dimanfaatkan oleh orangtua adalah adanya keterangan “orang tua/wali” dalam pasal tersebut. Hal ini berarti peserta didik juga dimungkinkan untuk bisa mendaftar PPDB sebagai anak dari wali bukan dari orangtua kandung. Jadi bisa saja orangtua menitipkan anaknya ke saudara atau kerabat yang kebetulan mendapat perintah surat perpindahan tugas, dan anaknya bisa mendaftar di sekolah yang diinginkan.

Padahal aturan dalam pasal 23 ini dimaksudkan untuk memudahkan siapa pun yang berpindah tugas agar anaknya tetap mendapatkan hal pendidikan di daerah orangtuanya ditugaskan.

Salah satu calon siswa membuka laman untuk pendaftaran daring SMA Negeri 1 Semarang di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (21/6/2021).PETRUS RADITYA MAHENDRA YASA Salah satu calon siswa membuka laman untuk pendaftaran daring SMA Negeri 1 Semarang di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (21/6/2021).

  • Mengakali Verifikator Sekolah Pilihan Pertama

Ketika seseorang mendaftarkan anaknya pada PPDB online, ia akan memilih beberapa sekolah yang termasuk dalam zonasi wilayahnya. Setelahnya ia perlu mengunggah beberapa berkas yang diperlukan untuk kemudian diverifikasi.

Masalahnya, verifikasi berkas ini hanya dilakukan oleh sekolah yang berada di pilihan pertama saja. Jika peserta tak lolos verifikasi di sekolah pilihan pertama, ia akan otomatis dilimpahkan ke sekolah pilihan kedua.

Sayangnya, sekolah yang berada di pilihan kedua ini tidak lagi melakukan pengecekan dan verifikasi berkas yang diunggah oleh pendaftar. Jadi kemungkinannya, bisa saja pendaftar sengaja memilih sekolah yang diincar sebagai pilihan kedua meski sekolah tersebut tidak berada dalam zonasi yang sesuai domisilinya.

Dengan tak adanya verifikasi ulang di sekolah pilihan kedua, banyak orangtua yang memanfaatkan celah ini dan berhasil memasukkan anaknya ke sekolah incaran meski berada di luar zonasi.

Pendaftar yang melakukan praktik ini boleh dibilang orang yang cukup “cerdik”, sebab ia mesti melakukan analisis yang tepat dan tahu benar bahwa berkasnya tak akan diterima di sekolah pilihan pertama.

Ia bisa memperkirakan dengan cermat bahwa berkasnya tak akan lolos verifikasi di sekolah pilihan pertama dan membuatnya bisa langsung dilimpahkan ke pilihan kedua tanpa perlu melalui proses verifikasi berkas lagi.

Wasana Kata

"Menghancurkan suatu bangsa tidak perlu pakai bom atom ataupun misil jarak jauh. Cukup hanya dengan menurunkan kualitas pendidikan,... " ( dikutip dari Kompas ditulis oleh Prof. Emil Salim, Ph.D.)

Lima celah yang dimanfaatkan banyak orangtua dalam proses pendaftaran PPDB menjadi bukti bahwa aturan dan regulasi yang tertuang dalam Permendikbud No.1 Tahun 2021 perlu dievaluasi mendalam dan perlu adanya revisi.

Penjelasan soal celah-celah yang bisa dimanfaatkan orangtua tadi bukanlah dimaksudkan untuk mengajari orangtua lain untuk meniru, melainkan bentuk kepedulian atas dunia pendidikan Indonesia. Saya merasa prihatin sekaligus miris melihat banyak sekali kekisruhan yang terjadi saat PPBD digelar setiap tahunnya.

Tak sedikit orangtua yang merasa hak-haknya dikebiri oleh kecurangan orang lain yang sama-sama mendaftar PPDB. Hal ini kemudian memunculkan kemarahan bahkan menimbulkan depresi bagi peserta didik dan orangtua yang tidak diterima di sekolah yang diinginkan, meski berada salam satu zonasi.

Banyak juga pendaftar yang malah menyalahkan pihak sekolah. Padahal sekolah hanya bertindak sebagai pelaksana dalam proses PPDB ini, tidak ada sangkut pautnya dengan aturan, kebijakan, atau regulasi.

Segala peraturan yang ditetapkan dalam proses PPDB baik TK, SD, SMA, dan SMA berlandaskan pada Permendikbud yang biasanya diterjemahkan kembali melalui peraturan Gubernur pada tingkat provinsi lalu diterjemahkan dalam peraturan Wali Kota/ Bupati sesuai dengan kota atau kabupaten masing-masing.

Maka dari itu, pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan evaluasi dan revisi yang dibutuhkan dalam rangka menutup celah yang sering digunakan masyarakat pada proses pendaftaran PPDB.

Selain itu juga harapannya pemerintah dapat menerbitkan peraturan yang secara rinci mengatur tetang PPDB dan menjelaskan setiap aturannya sehingga tak ada lagi bias dan multi-tafsir yang muncul di masyarakat terkait proses pendaftaran PPDB di setiap daerah.

Seperti yang kita tahu bersama, pendidikan adalah kunci utama kemajuan sebuah negara. Dan PPDB adalah pintu pembuka yang akan memberikan kesempatan seluruh peserta didik untuk mengenyam pendidikan. Jadi, jika dalam proses awal (baca: PPDB) saja sudah banyak menimbulkan masalah dan kecurangan, apa yang akan terjadi pada pendidikan Indonesia kelak?

Mari jaga PPDB bersama!

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengungkap 5 Celah PPDB, Sebuah Refleksi bagi Pemerintah"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau