Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam Pasal 21 UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) disebutkan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan serta diwujudkan secara selaras. Selanjutnya sumber daya air dikelola secara terpadu, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Fungsi yang dimaksud berkaitan dengan pemenuhan hak rakyat atas air yang dijamin oleh negara sebagai kebutuhan pokok sehari-hari, Juga untuk kebutuhan pertanian rakyat, serta untuk kebutuhan usaha melalui sistem penyediaan air minum. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 UU Sumber Daya Air.
Meskipun begitu, terbatasnya akses sumber daya air masih menjadi permasalahan sentral yang dihadapi oleh sejumlah daerah saat ini.
Faktor-faktor penyebab terbatasnya sumber daya air ini antara lain adalah pertama, terus menurunnya kondisi hutan akibat penebangan liar, kebakaran, dan perambahan hutan.
Hutan merupakan salah satu sumber daya penting untuk menjaga daya dukung (carrying capacity) lingkungan terutama pemenuhan ketersediaan sumber daya air.
Kedua, pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim (global change) dalam bentuk kenaikan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem.
Ketiga, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kerusakan ini berupa degradasi dan erosi dasar sungai, adanya hunian di bantaran sungai, pencemaran sungai, serta kerusakan yang diakibatkan oleh penebangan liar.
Akibatnya DAS tidak lagi dapat berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alam.
Penanganan yang holistik tentu dibutuhkan untuk menangani ketiga faktor yang menyebabkan semakin terbatasnya sumber daya air tersebut. Hal ini penting karena keberadaan sumber daya air merupakan modal dasar pembangunan nasional yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Oleh karena itu, sumber daya air harus dikelola secara selaras, terpadu, dan berwawasan lingkungan agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 21 UUD SDA.
Apalagi dalam beberapa waktu belakangan fenomena El Nino yang menerpa Indonesia juga turut menambah kekeringan yang berdampak pada semakin kritisnya ketersediaan air di sejumlah daerah di Indonesia.
Adanya fenomena El Nino ini, pemerintah melalui Kementerian Pertanian lantas segera membagi tiga daerah zona pertanian Indonesia yang terdampak kemarau.
Ketiga zona pertanian itu meliputi wilayah pertanian zona merah, kuning, dan hijau yang dibagi berdsarkan tingkat ketersedian air bervariasi.
Zona merah meliputi wilayah-wilayah pertanian yang mengalami defisit (krisis) air dan bisa berdampak terhadap ketahanan pangan di daerah.
Sementara zona hijau merupakan wilayah yang memiliki sumber air cukup di musim kemarau dan akan difungsikan menjadi penyuplai pangan Indonesia, serta akan ditingkatkan produksi pangannya.
Terlepas dari itu, memang tak bisa dimungkiri bahwa faktor penurunan kondisi hutan serta degradasi DAS merupakan faktor utama yang memengaruhi keberadaan sumber daya air.
Sebab, air merupakan elemen utama untuk menjalankan fungsi sosial, lingkungan hidup, serta ekonomi. Permasalahan ini semakin diperparah dengan adanya isu pemanasan global yang menimbulkan cuaca ekstrem
Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Sejatinya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan menjadi komitmen moral bagi semua pihak karena hal ini demi terwujudnya lingkungan hidup layak untuk generasi sekarang serta generasi yang akan datang.
Untuk menjalankan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan harus didasarkan pada strategi yang berupaya mencapai keseimbangan dan keserasian aspek ekonomi, ekologis, dan sosial budaya.
Tujuannya agar dapat meningkatkan daya guna air, meminimalkan kerusakan, serta memperbaiki dan melakukan konservasi lingkungan.
Salah satu strategi tersebut sebagaimana diamanatkan dalam pasal 24 UU SDA adalah melalui konservasi sumber daya air, yakni ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air.
Konservasi sumber daya air dilakukan dengan mengacu pada rencana pengelolaan sumber daya air melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air; pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Terkait pelaksanaan konservasi sumber daya air ini dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Upaya konservasi sumber daya air mutlak dilakukan terhadap semua faktor yang memengaruhi akses sumber daya air.
Berangkat dari kenyataan bahwa terdapat wilayah di Indonesia yang masuk dalam zona merah adalah bukti bahwa krisis air menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan fungsi air bagi kehidupan manusia dan lingkungan.
Walaupun dalam UU, tugas konservasi sumber daya air dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun tetap melibatkan stakeholder terkait, khususnya yang berbasis lingkungan. Di samping itu juga harus melibatkan masyarakat lingkar sumber daya air yang punya kesadaran konservasi.
Mengapa begitu? Sebab pengelolaan sumber daya air secara terpadu, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, tidak akan bisa terwujud tanpa melibatkan berbagai pihak.
Apalagi untuk menyadarkan berbagai pihak bahwa kerusakan dan degradasi sumber daya air turut berdampak pada krisis air bukanlah tugas yang mudah. Sebab, ada faktor ulah manusia yang berperan dalam mendegradasi sumber daya air selain faktor alam.
Intinya peran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), lahan kritis, hutan lindung, dan hutan produksi untuk menjaga keberlangsungan sumber daya air sangat esensial.
Pemerintah daerah juga perlu dan harus bersinergi dengan pemerintah pusat dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air. Sebagai contoh dalam program Kementerian PUPR, aspek konservasi sumber daya air merupakan salah satu dari 5 aspek yang biasa dilaksanakan.
Aspek lainnya, yakni penggunaan sumber daya air, aspek pengendalian daya rusak air, aspek kelembagaan, dan aspek sistem informasi sumber daya air.
Untuk Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), aspek konservasi sumber daya air biasanya dilaksanakan bekerja sama dengan instansi terkait, seperti Dinas Kehutanan, Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi III Palu, dan instansi vertikal di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yaitu BPDAS Palu Poso, dan BTNLL.
Hal lain yang tak kalah penting dalam pengelolaan sumber daya air adalah pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud pasal 40 UU SDA.
Terkait pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air, dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, berdasarkan program dan rencana kegiatan. Namun demikian dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Konstruksi prasarana (infrastruktur) sumber daya air menjadi program dan kebijakan pemda guna mewujudkan kebutuhan sumber daya air dapat diselenggarakan secara selaras.
Hal tersebut juga mencakup kebutuhan pertanian rakyat guna mendukung program ketahanan pangan di daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Sulteng lewat Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air (CIKASDA) turut merealisasikan pelaksanaan konstruksi prasarana guna pengelolaan sumber daya air berkelanjutan.
Dalam pelaksanaan kegiatan konstruksi berupa rehabilitasi, operasi, dan pemeliharaan jaringan irigasi ini dilakukan sebagai bentuk pelayanan penyediaan air irigasi kepada petani.
Berdasarkan data Dinas CIKASDA Sulteng, terdapat 30 daerah irigasi Kewenangan Provinsi Sulteng memiliki kondisi yang berbeda-beda, berdasarkan nilai IKSI pada E-PAKSI pada tahun Anggaran 2022.
Kondisi tersebut antara lain, terdapat 1 daerah irigasi dengan kondisi baik (3%), 6 daerah irigasi dengan kondisi jelek (20%), dan 23 daerah irigasi dengan kondisi kurang (77%).
Berdasarkan kondisi yang ada, Dinas CIKASDA Sulteng menyimpulkan bahwa kondisi daerah irigasi Kewenangan Provinsi Sulteng yang terdiri dari 30 daerah irigasi masih perlu dilakukan penanganan serta rehabilitasi pada prasarana fisik yang ada, sehingga dapat berfungsi secara maksimal.
Sebab keberadaan jaringan irigasi dan bendungan eksisting yang sudah ada di daerah sangat dibutuhkan. Hal itu penting karena tidak hanya dibutuhkan untuk pelayanan pertanian rakyat, melainkan juga untuk menjaga pasokan air bersih saat musim kemarau, serta untuk pencegahan banjir.
Demikian pula konstruksi prasarana sumber daya air berupa bangunan tampungan air, seperti waduk dan embung yang penting untuk tempat penyimpanan atau penampungan air saat musim kemarau.
Pada kenyataannya, pelaksanaan pembangunan berbagai prasarana tersebut di daerah masih terbentur oleh kewenangan, regulasi, dan anggaran. Sebagai contoh, pembangunan waduk nyatanya masih menjadi kewenangan Kementerian PUPR lewat Balai Wilayah Sungai yang ada di daerah.
Terkait pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air berupa aspek konservasi dan rehabilitasi untuk menjaga keberlangsungan sumber daya air juga sudah dilakukan oleh Dinas CIKASDA Sulteng.
Pembangunan tersebut meliputi bangunan air yang dibangun berupa cek dam, groundsil, perkuatan tebing, pengarah aliran (krib) dan bangunan air lainnya untuk mengarahkan alur sungai.
Terkait kegiatan sipil teknis yang dilakukan Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi III Palu untuk konservasi, meliputi Sabo DAM, cek dam, groundsil dan bangunan air lainnya yang berfungsi untuk mengatur morfologi dan alur sungai.
Hal-hal yang berkaitan dengan wewenang untuk mengatur dan mengelola sumber daya air, tugas dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa telah diatur dalam UU SDA.
Rincianya adalah sebagai berkut, untuk tugas pemerintah pusat diatur dalam Pasal 9, tugas pemerintah provinsi diatur dalam Pasal 13, tugas pemerintah kabupaten/kota diatur dalam pasal 15, serta tugas pemerintah desa diatur dalam Pasal 17.
Di dalam UU SDA itu disebutkan bahwa tugas utama pemerintah pusat dan daerah adalah menyusun kebijakan serta pola pengelolaan sumber daya air sesuai tingkatannya. Selain itu juga melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai.
Tugas lainnya adalah menjamin penyediaan air baku yang memenuhi kualitas untuk pemenuhan kebutuhan pokok, mengembangkan dan mengelola sistem irigasi, serta sejumlah tugas lain yang menjadi kewenangan dan tingkatan masing-masing.
Sementara tugas pemerintah desa adalah mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan sumber daya air di wilayahnya. Pemerintah desa juga berperan dalam menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air.
Tugas pemerintah desa tentu cukup signifikan mengingat salah satu kebutuhan sumber daya air adalah untuk pertanian yang berbasis di pedesaan.
Meskipun secara normatif tugas pemda dalam pengelolaan sumber daya air sudah diatur lewat regulasi, namun dalam menghadapi kondisi paling ekstrem, seperti kekeringan yang berpotensi menyebabkan krisis air, maka pemda perlu menyiapkan skenario antisipasi terhadap penyediaan air bersih di daerah, jika hanya mengandalkan air permukaan.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas CIKASDA Sulteng, di provinsi Sulteng sebenarnya memiliki potensi air baku dari air permukaan yang cukup banyak.
Maka untuk menghadapi kondisi kekeringan, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menahan air permukaan di darat selama mungkin. Hal ini lah mengapa pembangunan bendungan, embung, serta tampungan air lainnya begitu dibutuhkan untuk pengawetan air permukaan tersebut.
Hal tersebut penting untuk dilakukan mengingat tanah di wilayah Sulteng sebagian besar memiliki tingkat porositas yang sangat tinggi. Jadi, air hujan yang turun langsung masuk ke dalam tanah menjadi potensi air tanah yang mengisi cekungan air tanah (CAT).
Sebenarnya hal itu dapat dimanfaatkan untuk cadangan air tanah. Akan tetapi menurut Dinas CIKASDA, penggunaan air permukaan lebih diutamakan ketimbang penggunaan air tanah.
Tentu daerah lain di Indonesia punya problem berbeda terhadap kondisi air permukaan akibat pengaruh El Nino dan berbagai faktor penyebab lainnya. Artinya tentu diperlukan skenario yang tepat dalam penanganannya, agar kendala tersebut tidak menjadi “bencana” bagi masyarakat dan daerah.
Perlu diingat bahwa pengelolaan sumber daya air berkelanjutan sangat penting dan strategis untuk ditangani serta dikelola secara serius. Sebab, ketersediaan air merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan dalam peradaban kehidupan manusia.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Antisipasi Krisis Air dan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan"
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya