Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mutia Ramadhani
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Mutia Ramadhani adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Terpaksa Jadi Rojali karena Tak Ada Ruang Berkumpul

Kompas.com - 06/08/2025, 15:44 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ini bukan nama karakter dalam sinetron. Ini bukan pula nama yang disamarkan. Rojali, begitu istilahnya untuk menggambarkan kondisi yang mana ada segerombolan atau rombongan yang jarang beli.

Rojali ini kini mudah kita temui di mall-mall atau pusat perbelanjaan. Mereka masuk tenant, lalu keluar dengan tangan kosong. Tak ada yang dibeli. Rojali hanya keliling sana-sini

Fenomena ini viral dan jadi perbincangan di media sosial, bahkan Kompasiana sampai bikin topik bahasan khusus.

Tetapi, alih-alih ikut-ikutan menghakimi Rojali, saya justru ingin bilang, "Hei, mereka nggak salah apa-apa, say. Justru mereka itu representasi realita urban Indonesia hari ini." 

Mall Lebih Banyak dari Ruang Hijau? Ya Kita ke Mall Lah!

Pertanyaannya bukan "Kenapa sih banyak Rojali di mall?" Tapi lebih ke, "Kenapa sih di kota besar kita lebih banyak mall ketimbang ruang terbuka hijau (RTH)?"

Coba kamu cari taman kota di Jakarta yang adem, gratis, ramah keluarga, gampang dijangkau tanpa kendaraan pribadi.

Nah, lumayan susah, kan? Sementara mall? Keluar stasiun mana pun di Jabodetabek, hampir pasti ada mall di dekatnya. Mudah dan murah.

Jakarta saja punya lebih dari 200 mall, tetapi RTH? Masih di bawah target ideal 30% dari total wilayah. Itu baru Jakarta.

Lantas bagaimana dengan kota-kota besar lainnya seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Surabaya, Medan? Ya, mirip-mirip.

Lalu ketika masyarakat ke mall sekadar ngadem, cuci mata, numpang Wi-Fi, dan duduk cantik di sofa food court, tiba-tiba mereka dilabeli "Rojali" seolah salah karena tidak belanja banyak di sana.

Padahal... ya gimana, di mana lagi mereka bisa cari hiburan gratis yang sejuk dan aman selain mall? 

Mall Itu Ruang Publik yang Diprivatisasi

Yang sering lupa kita sadari, mall "in this economy" bukan cuma pusat belanja. Mall adalah taman kota pengganti yang "diprivatisasi".

Nah, ketika kita bawa anak-anak kita main karena taman main di RW kompleks penuh semut dan hancur.

Di sinilah kita ketemuan sama teman lama karena jalan protokol terlalu panas buat ngobrol. Di sinilah kita ngabuburit nunggu buka puasa karena masjid udah penuh. Di sinilah kita cari Wi-Fi gratis karena kuota abis. Dan, di sinilah kita nonton gratisan influencer nge-vlog di atrium.

Rojali bukan pemalas, bukan pengangguran. Mereka adalah rakyat kota yang mencoba survive dengan cara paling manusiawi, yaitu berinteraksi dan merasa hidup. 

Rojali, Simbol Kota yang Gagal Berfungsi

Di banyak kota dunia yang sehat, ruang publik itu gratis, nyaman, dan dinikmati tanpa keharusan transaksi.

Lihat Singapura dengan East Coast Park-nya. Lihat Seoul dengan Cheonggyecheon Stream. Lihat Kuala Lumpur dengan taman kota besar macam KLCC Park.

Sekarang lihat Jakarta: bagaimana taman kotanya? Sebagian dijadikan gedung. Bagaimana hutan kotanya? Yang masih eksis bisa dihitung jari.

Trotoar nyaman nggak? Lebih sering jadi parkiran motor. Lapangan bermain? Sudah diganti jadi ruko cluster full furnished

Dalam kondisi seperti ini, wajar saja dong kalau mall akhirnya jadi "taman instan." AC dingin, ada toilet bersih, bisa bawa anak.

Akan tetapi karena ini ruang privat, ya jangan harap bisa duduk tanpa digeser satpam kalau kelamaan atau nggak belanja.

Mall Diizinkan, Lupa Tambah RTH

Pernah nggak sih kamu berpikir, kenapa mall baru terus muncul, tapi taman kota atau hutan kota terasa kayak unicorn, banyak disebut, tapi jarang kelihatan?

Yuk kita bongkar satu-satu lewat fakta yang ada. 

1. Jumlah Mall Terus Naik, RTH Stagnan atau Turun

Di Jabodetabek, khususnya Jakarta, terdapat lebih dari 96 pusat perbelanjaan, menurut data Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) per 2023. Jumlah tersebut terdiri dari 76 mall dan 20 pusat perdagangan (trade center).

Luas DKI Jakarta sendiri 661.5 km. Artinya, secara rata-rata, setiap 6,8 km ada satu pusat perbelanjaan. Atau lebih gampangnya, setiap 15 menit kamu naik motor di ibu kota, kamu pasti ketemu satu mall.

Bandingkan dengan RTH Jakarta sekitar 34,451 juta meter persegi atau baru mencapai 5,356% dari total luas wilayah per 2023 (DKI Jakarta dalam Angka). Padahal idealnya menurut UU No. 26 Tahun 2007 harus 30%. Artinya, yang naik itu jumlah eskalator dan AC mall, bukan pohon rindang atau taman buat piknik sama anak. 

2. Beda Waktu dalam Izin Mall dan Taman

Banyak proyek mall besar dapat izin dalam hitungan bulan, karena dianggap prioritas ekonomi lokal. Sementara taman kota atau hutan kota?

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau