Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apabila pasangan AMIN ingin mendongkrak suara Nahdlatul Ulama (NU), mereka mesti memperbanyak juru kampanye dan sukarelawan perempuan dari Fatayat dan Muslimat. Sebab, milenial dan Gen Z geriatri masih mendukung isu kesetaraan laki-laki dan perempuan sepanjang hal itu masih dalam batas wajar.
Terakhir, untuk pasangan Prabowo dan Gibran tentu tidak perlu repot “menjual” nama Gibran, karena ayahnya saat ini masih menjabat sebagai presiden RI.
Pembangunan besar-besaran, kedekatan ayahnya dengan rakyat, dan tidak adanya oposisi memunculkan approval rating yang tinggi buat sang ayah. Approval rating itu salah satu yang membuat Koalisi Indonesia Maju (KIM) ngebet menjadikan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
Hasil survei yang dilalukan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan April 2023 lalu mencatat bahwa 78,5% publik menyatakan puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo. Bahkan, angka tersebut juga memecahkan rekor tertinggi jika dibandingkan dengan 9 tahun terakhir.
Meskipun Gibran punya banyak limpahan dari jabatan dan approval rating ayahnya, namun perlu diingat bahwa pemilih muda menyukai kemandirian dan loyalitas.
Pemilih muda bisa saja menganggap Gibran tidak loyal karena ia menjadi cawapres dan bergabung dengan koalisi lain tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri dari partai asalnya, yakni PDIP.
Ditambah lagi momen Gibran maju jadi cawapres seakan seperti aji mumpung karena ayahnya masih menjadi presiden hingga beberapa bulan ke depan sebelum akhirnya Indonesia memiliki presiden dan wakil presiden baru. Hal itu, akan membuat pemilih muda sulit menganggap Gibran sebagai sosok yang mandiri.
Maka dari itu, tim pemenangan Prabowo-Gibran fokus saja “menjual” Gibran sebagai sosok yang kreatif dan inovatif. Bagaimana dengan Prabowo? Kemungkinan untuk menarik simpati pemilih muda agak susah, ditambah lagi dengan faktor pamornya yang sudah jauh menurun.
Di samping itu, Prabowo termasuk dalam generasi baby boomer yang karakternya cenderung dinilai kaku dan tidak bisa mengikuti zaman, dan terakhir ia juga memiliki jejak kelam yang berkaitan dengan HAM.
Hadirnya sosok Gibran sebagai cawapres di Pemilu 2024 nanti tentu menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi mereka yang tergolong Gen Z. Meski begitu Gibran akan dinilai sebagai sosok yang kurang memuaskan oleh milenial.
Genrasi Milenial yang paling muda tahun ini telah berusia 27 tahun, artinya mereka sudah paham mengenai proses demokrasi yang mendekati ideal. Mereka juga sudah mengerti apa dampak keputusan Mahkamah Konstitusi terkait penentuan batas usia capres-cawapres dengan demokratisasi itu sendiri.
Sementara itu Gen Z cenderung memilih berdasarkan kesamaan usia atau informasi apa yang sering sampai kepadanya.
Misalnya, seorang Gen Z bisa saja dari awal sudah menyenangi sosok Ganjar karena dinilai friendly dan tidak jaim. Akan tetapi karena circle pertemanan yang diikutinya lebih sering membicarakan betapa cerdasnya Anies Baswedan, maka bisa jadi pilihannya pun akan beralih ke Anies Baswedan.
Di musim kampanye sekarang untuk menarik suara pemilih muda dan pemula, strategi cyber campaign yang memanfaatkan media sosial, grup WhatsApp dan Telegram, serta berbagai platform video masih menjadi pilihan jitu, seperti yang dilakukan di Pilpres 2004 dan 2019.
Meski begitu tetap ada perbedaan antara Milenial dan Gen Z. Bila Milenial masih lebih menyukai bentuk kampanye tatap muka dengan diskusi dan adu ide, Gen Z tidak.