Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di seluruh dunia, salah satu gangguan jiwa yang paling umum ditemui adalah gangguan depresi. Maka dari itu tak heran bila dalam beberapa tahun terakhir, teori-teori depresi telah berkembang begitu pesat untuk memahami lebih lanjut tentang gejala-gejala yang terlibat dalam gangguan depresi.
Dalam dunia psikologi, ada dua teori yang berkaitan dengan depresi, yakni ruminasi dan anhedonia. Kedua teori ini menyoroti gejala-gejala yang lebih dominan dan membantu kita memahami kompleksitas gangguan depresi.
Ruminasi adalah proses berulang yang mendasari proses mengenang dan memperpanjang pengalaman emosional negatif secara terus-menerus.
Ketika seseorang mengalami ruminasi, ia akan cenderung terjebak dalam cangkang pikiran yang tidak produktif, akan berpikir berulang kali tentang kegagalan, kesalahan masa lalu, atau peristiwa traumatis.
Selain itu, mereka juga sering terjebak dalam siklus pikiran negatif yang tak berujung, yang dapat menyebabkan perasaan sedih yang lebih dalam.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ruminasi terkait dengan gangguan fungsi beberapa sirkuit otak yang terlibat dalam pengaturan emosi.
Studi pencitraan otak telah mengungkapkan bahwa orang depresi yang mengalami ruminasi mengalami peningkatan aktivitas di korteks prefrontal (PFC), sebuah area yang terlibat dalam pemrosesan emosi dan pengambilan keputusan.
Di samping itu, juga akan terdapat penurunan aktivitas di area yang terkait dengan regulasi emosi, seperti amigdala. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan dalam sirkuit otak yang terlibat dalam pengaturan emosi, yang dapat menyebabkan perasaan sedih yang berkelanjutan.
Anhedonia adalah gejala utama dalam gangguan depresi yang ditandai dengan hilangnya minat atau kesenangan pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
Seseorang yang menderita anhedonia akan merasa kehilangan minat dan kesenangan pada hal-hal yang sebelumnya memberikan kegembiraan. Hal-hal tersebut dapat mencakup hilangnya minat terhadap hobi, hubungan interpersonal, makanan, atau bahkan kegiatan sehari-hari yang sederhana.
Para peneliti telah mengaitkan anhedonia dengan disfungsi dalam sistem penghargaan otak (reward system). Sistem penghargaan di otak mengatur persepsi kita tentang penghargaan dan kegembiraan, dan melibatkan neurotransmiter seperti dopamin.
Pada gangguan depresi, penurunan aktivitas dopaminergik di daerah otak yang terkait dengan penghargaan dan kesenangan telah diamati. Hal ini dapat menjelaskan mengapa orang dengan depresi sering mengalami kehilangan minat dan kesenangan, karena respons otak terhadap penghargaan dan kegembiraan menurun.
Dalam konteks gangguan depresi, ruminasi dan anhedonia seringkali saling terkait serta saling memengaruhi.
Ruminasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan hilangnya minat dan kesenangan dalam hidup, yang merupakan gejala anhedonia. Sebaliknya, anhedonia dapat memicu pemikiran ruminasi yang tak henti-hentinya tentang ketidakpuasan hidup dan hilangnya minat.
Di samping itu, terdapat dampak negatif pada kualitas hidup seseorang dengan runinasi dan anhedonia. Seseorang yang menderita ruminasi berkepanjangan dapat memperburuk gejala depresi dan menghambat pemulihan. Sementara itu, anhedonia dapat menghambat keterlibatan sosial dan aktivitas yang meningkatkan suasana hati.